Wahyu menilai, revisi pasal tentang pencemaran nama baik itu sangat penting bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Jika banyak narasumber dipidanakan karena pernyataannya di media massa, keberlangsungan demokrasi dan kebebasan pers yang sudah berjalan selama ini akan terganggu.
"Di banyak negara, pasal pencemaran nama baik adalah masalah perdata. Tidak ada yang masuk ke dalam ranah pidana," kata Wahyu.
Dia melihat, pada era pemerintahan Joko Widodo, kasus yang menggunakan pasal pencemaran nama baik sudah beberapa kali terjadi. Yang paling disorot publik adalah kasus yang menimpa dua komisioner Komisi Yudisial, yaitu Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri, yang ditetapkan sebagai tersangka atas pencemaran nama baik Hakim Sarpin Rizaldi. Ada juga kasus pencemaran nama baik yang diajukan pakar hukum tata negara, Romly Atmasasmita, dengan terlapor Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, dan mantan penasihat KPK, Said Zainal Abidin.
"Negara harusnya tidak ikut campur secara pidana dalam hal pencemaran nama baik," katanya.
Hal serupa disampaikan Direktur Imparsial Al Araf. Dia khawatir, media secara tidak langsung akan dibungkam jika pasal pencemaran nama baik tetap di ranah pidana. Menurut dia, media akan sulit mencari narasumber yang kritis dalam mengomentari suatu persoalan. "Harusnya pencemaran nama baik masuk ranah perdata. UU ITE itu juga sama. Tidak perlu pidana, tetapi perdata," kata Al Araf.
Peraturan mengenai pencemaran nama baik saat ini terdapat dalam Bab XVI tentang Penghinaan dalam Pasal 310-321 KUHP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.