Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Belum Cerdas Memilih Alasan DPR Batasi Kerabat Petahana

Kompas.com - 11/07/2015, 11:55 WIB
Icha Rastika

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menilai bahwa pembatasan kesempatan calon kepala daerah yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petahanan masih diperlukan mengingat kondisi masyarakat yang cenderung belum cerdas dalam memilih.

Ahmad Riza kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus aturan pembatasan tersebut. "Karena menurut kami, MK tidak memahami niat maksud dan tujuan penting pasal tersebut kami buat, juga tidak memahami latar belakang dan pengalaman selama ini," kata Ahmad Riza dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (11/7/2015).

Kondisi ini berbeda dengan kondisi masyarakat di negara maju seperti Amerika Serikat. Jika masyarakat Indonesia sudah secerdas masyarakat AS, maka aturan mengenai kedekatan calon kepala daerah dengan petahana tersebut bisa saja dihapuskan.

"Kalau di Amerika, orang sudah tahu lah anak bapaknya, istrinya misalnya, tapi di sana akan dipilih berdasarkan kualitasnya, itu kalau masyarakatnya sudah cerdas. Kalau kita sekarang kan belum, masih patrialistik, masih feodal, mengikuti arus, bahkan semakin pragmatis," sambung dia.

Berdasarkan pengalaman selama ini, menurut dia, akan menjadi sulit bagi calon lain untuk melawan calon kepala daerah petahana dan kroninya. Setidaknya ada 61 daerah yang petahana atau keluarga petahana menang dalam pemilihan kepala daerah.

"Ada 61 daerah yang ada hubungan dengan keluarga yang selama ini menang, dari 500 sekian daerah, dan mungkin jumlahnya bisa lebih," tutur dia.

Kendati demikian, Komisi II menyadari bahwa tidak semua keluarga petahana bersekongkol dengan petahana dalam memenangkan pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah mengatur agar kerabat petahana yang ingin maju terlebih dahulu menunggu jeda lima tahun atau satu periode pemerintahan.

"Apa salahnya menunggu lima tahun? Kan tidak salah, kita tidak menutup kesempatan tetapi hanya mengatur untuk membangun demokrasi yang lebih baik," kata Riza.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Muttaqiem Pratama tidak sependapat dengan Riza Patria yang menitikberatkan pada kondisi masyarakat Indonesia. Menurut dia, calon kepala daerah dan sistem pemilihan kepala daerah lah yang selama ini mengkonstruksi masyarakat dalam menentukan pilihannya.

"Saya kurang sepakat ketika memberatkan masyarakat kurang cerdas karena pelaku pemilih sangat dikontruksi kandidat dan sistem pemilu kita," ucap dia.

Oleh karena itu, Heroik menyarankan agar dilakukan rekayasa sistem pemilu serentak yang membatasi pencalonan keluarga petahana sekaligus mendorong demokrasi internal partai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Nasional
Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Nasional
TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com