JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria mengusulkan, agar partai politik tidak mengusung calon kepala daerah yang memiliki hubungan keluarga dengan petahana. Hal ini untuk mencegah terjadinya politik dinasti pascaputusan Mahkamah Konstitusi.
"Kita imbau, minta, kepada pimpinan parpol untuk tidak merekomendasikan keluarga incumbent sebagai bukti dan fakta untuk memberikan kesempatan kepada calon lain di luar incumbent yang akan maju," kata Riza di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (10/72015).
Selain itu, ia juga mengajak lembaga swadaya masyarakat untuk mengedukasi masyarakat agar menjadi pemilih yang teliti dan cerdas sebelum memilih calon kepala daerah. Ia meminta, agar masyarat tak mudah terbujuk rayuan politik uang yang mungkin diberikan setiap calon.
Riza berharap, agar LSM juga menyelidiki rekam jejak setiap calon kepala daerah, terutama mereka yang berasal dari keluarga petahana. Menurut dia, banyak petahana yang tidak ingin turun dari jabatannya dan berharap ada keluarga yang melanjutkan jejaknya, untuk menyembunyikan kepentingan tertentu.
"Kenapa mereka perlu melanggengkan kekuasaan, ada kepentingan yang disembunyikan, menutup, kepentingan untuk menjaga agar keputusan selama ini tidak terungkap," ujarnya.
Mahkamah Konstitusi membatalkan syarat calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah tidak punya konflik kepentingan dengan petahana seperti diatur dalam Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015. (baca: MK: Larangan Keluarga Petahana Ikut Pilkada Melanggar Konstitusi)
Dengan demikian, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan larangan konflik kepentingan memuat pembedaan perlakuan yang semata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang. Padahal, konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif. Larangan diskriminasi juga ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat (3) UU HAM.
MK menilai Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015 juga sulit dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada. Ini karena pemaknaan terhadap frasa ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai kepentingannya hingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. (baca: Menurut MK, Larangan Keluarga Petahana Ikut Pilkada Diskriminasi dan Langgar HAM)
Dalam putusannya, MK tidak menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana punya berbagai keuntungan terkait pencalonan kerabatnya. MK sepakat dengan pentingnya pembatasan agar keuntungan itu tidak disalahgunakan petahana untuk kepentingan dirinya dan kerabatnya.
Namun, pembatasan harus ditujukan kepada kepala daerah petahana, bukan kepada keluarga, kerabat, atau kelompok-kelompok yang dimaksud.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.