JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat diminta cerdas menggunakan hak suaranya ketika pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember 2015. Masyarakat harus bisa membedakan mana calon yang bersih dan mana calon yang korup dan hanya ingin membangun dinasti politik.
"Kalau memang ada petahana yang rekam jejaknya buruk, lalu kerabatnya maju di pilkada, ya jangan dipilih," kata pakar hukum tata negara Margarito Kamis dalam diskusi 'MK Legalkan Politik Dinasti' di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/7/2015).
Hal tersebut disampaikan Margarito menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi yang mengizinkan keluarga dan kerabat petahana untuk mengikuti pemilihan kepala daerah. (baca: "MK Tak Pikirkan Politik Dinasti Bisa Terjadi Pemiskinan dan Pembodohan Rakyat")
Menurut dia, tidak ada yang salah dalam putusan MK itu. Kuncinya, masyarakat harus bisa mengetahui apakah suatu calon hendak membangun politik dinasti di daerahnya. Selain itu, kata dia, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu hingga kepolisian harus memastikan tidak ada politik uang yang terjadi dalam pilkada.
"Rakyat tahu dan bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk," kata Margarito.
Hal serupa disampaikan mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Johan. Dia memang mengaku masih pesimistis rakyat bisa memilih calon yang berintegritas di tengah godaan politik uang.
Namun, kata dia, sudah ada contoh nyata perlawanan rakyat terhadap dinasti politik. Hal tersebut terjadi di Bandung, Jawa Barat, saat istri petahana Dada Rosada maju sebagai Walikota. Rakyat bisa melihat dengan jernih bahwa Dada sudah tersangkut kasus korupsi, akhirnya istri Dada gagal terpilih.
"Media massa setidaknya harus melakukan uji publik terhadap para calon. Yang mana yang punya hubungan kekerabatan, lalu dibuka rekam jejaknya. Dengan begitu publik punya informasi," ucap dia.
Mahkamah Konstitusi membatalkan syarat calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah tidak punya konflik kepentingan dengan petahana seperti diatur dalam Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015. (baca: MK: Larangan Keluarga Petahana Ikut Pilkada Melanggar Konstitusi)
Dengan demikian, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan larangan konflik kepentingan memuat pembedaan perlakuan yang semata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang. Padahal, konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif. Larangan diskriminasi juga ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat (3) UU HAM.
MK menilai Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015 juga sulit dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada. Ini karena pemaknaan terhadap frasa ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai kepentingannya hingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. (baca: Menurut MK, Larangan Keluarga Petahana Ikut Pilkada Diskriminasi dan Langgar HAM)
Dalam putusannya, MK tidak menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana punya berbagai keuntungan terkait pencalonan kerabatnya. MK sepakat dengan pentingnya pembatasan agar keuntungan itu tidak disalahgunakan petahana untuk kepentingan dirinya dan kerabatnya.
Namun, pembatasan harus ditujukan kepada kepala daerah petahana, bukan kepada keluarga, kerabat, atau kelompok-kelompok yang dimaksud.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.