JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria mengatakan, munculnya pasal petahana di dalam UU Pilkada sejak awal bertujuan untuk membatasi kesempatan kepala daerah menerapkan politik dinasti di daerah yang mereka pimpin. Namun, upaya pemerintah dan DPR membatasi politik dinasti itu kandas menyusul terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi.
"Kalau MK dibilang mengejutkan, ya namanya malaikat mengejutkan, nggak tahu datangnya kapan. Putusan MK ini akan melegalkan politik dinasti sampai kiamat," kata Riza saat diskusi bertajuk 'MK Melegalkan Politik Dinasti' di Kompleks Parlemen, Kamis (9/7/2015).
Ia mengatakan, dalam sejarah pelaksanaan pilkada di Tanah Air, daerah yang dikuasai kepala daerah incumbent sudah seperti kerajaan kecil. Mereka memiliki kekuasaan untuk menggunakan anggaran daerah secara bebas. (baca: "MK Tak Pikirkan Politik Dinasti Bisa Terjadi Pemiskinan dan Pembodohan Rakyat")
"Faktanya, daerah mereka tidak maju, masyarakat tidak sejahtera. Sedangkan, keluarga (kepala daerah) semakin kaya, kroni-kroni kerabat makin makmur dan masyarakat makin miskin," ujarnya.
Selain itu, untuk melanggengkan kekuasaanya, kata dia, mereka juga memiliki otoritas untuk menentukan program pembangunan daerah. Ia mencontohkan, ada satu daerah yang memberikan insentif kepada seluruh ketua RT hingga milyaran rupiah. Dana tersebut biasanya akan diberikan menjelang pilkada.
"Ratusan miliar (rupiah) dikucurkan tidak jelas jelang pilkada. Artinya, sampai kiamat, ya sudah jadi kerajaan betul daerah ini, bagaimana mau ngelawan?" ujarnya.
Mahkamah Konstitusi membatalkan syarat calon kepala daerah/calon wakil kepala daerah tidak punya konflik kepentingan dengan petahana seperti diatur dalam Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015. (baca: MK: Larangan Keluarga Petahana Ikut Pilkada Melanggar Konstitusi)
Dengan demikian, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan larangan konflik kepentingan memuat pembedaan perlakuan yang semata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang. Padahal, konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif. Larangan diskriminasi juga ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat (3) UU HAM.
MK menilai Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015 juga sulit dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada. Ini karena pemaknaan terhadap frasa ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai kepentingannya hingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. (baca: Menurut MK, Larangan Keluarga Petahana Ikut Pilkada Diskriminasi dan Langgar HAM)
Dalam putusannya, MK tidak menafikan kenyataan di mana kepala daerah petahana punya berbagai keuntungan terkait pencalonan kerabatnya. MK sepakat dengan pentingnya pembatasan agar keuntungan itu tidak disalahgunakan petahana untuk kepentingan dirinya dan kerabatnya.
Namun, pembatasan harus ditujukan kepada kepala daerah petahana, bukan kepada keluarga, kerabat, atau kelompok-kelompok yang dimaksud.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.