Riza mengatakan, pembatalan pasal ini berpotensi melanggengkan politik dinasti.
"Kami pimpinan Komisi II DPR kecewa dengan putusan MK. Malaikat konstitusi yang satu itu telah menganggap peraturan itu inkonstitusional," kata Riza, Kamis (9/7/2015).
DPR telah berupaya menyampaikan agar MK memahami lebih dulu maksud UU Pilkada. Menurut Riza, praktik politik dinasti harus dihentikan.
"Politik dinasti di daerah tidak memajukan rakyatnya, melainkan hanya melanggengkan kekuasaan di daerah seperti kerajaan. Uang di daerah dikuasai oleh keluarga dan kroninya. Ini tidak baik," kata politikus Partai Gerindra ini.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Mahkamah menilai, aturan yang membatasi calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana telah melanggar konstitusi.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa idealnya suatu demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik. Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara.
Hakim menilai, Pasal 7 huruf r UU Pilkada mengandung muatan diskriminasi. Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undang-undang, di mana pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana.
Adapun permohonan uji materi ini diajukan oleh seorang anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.