JAKARTA, KOMPAS - Isu perombakan kabinet (reshuffle) selalu menjadi wacana seksi di era presiden siapa pun juga. Sebab, selalu ada dua reaksi: ada yang ketar-ketir karena terancam diganti, tetapi ada yang berbunga-bunga karena berharap ditelepon presiden untuk menempati posisi menteri yang dicopot itu.
Dan, reshuffle kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla nyatanya menjadi konsumsi lebih luas lagi, setelah sekitar sembilan bulan sejak pelantikan pada Oktober 2014. Tidak hanya di suprastruktur di kalangan elite politik, tetapi juga di akar rumput di pojok-pojok warung kopi.
Sinyal reshuffle kabinet memang tampak jelas, termasuk disampaikan Presiden sendiri. Pasalnya, ketidakpuasan terhadap kinerja sejumlah menteri kabinet periode 2014-2019 ini mungkin sudah sampai taraf ubun-ubun.
Sejak beberapa bulan belakangan ini, tidak sedikit menteri yang ditengarai kinerjanya tidak perform. Presiden pun sudah punya rapor masing-masing menteri. Banyak menteri memang "tidak bunyi" juga.
Koordinasi antarlembaga saja lemah, bagaimana mampu mewujudkan program di lapangan secara optimal. Bahkan, ada menteri yang diduga insubordinasi terhadap Presiden. Politisi PDI-P, partai pendukung pemerintah, bahkan mencak-mencak, mendesak Presiden Jokowi agar mencopot menteri yang diduga mengata-katai Presiden tersebut.
Ekonomi lesu
Paling runyam adalah kinerja menteri-menteri di bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I tahun 2015 sekarang ini hanya mampu 4,7 persen. Kondisi tersebut jauh sekali dibandingkan periode sama tahun-tahun sebelumnya.
Ekonomi benar-benar lesu. Di berbagai pertemuan, bahkan sampai acara arisan di lingkungan komunitas pun, kelesuan ekonomi menjadi keresahan publik. Karena itu, Kelesuan ekonomi tak bisa dianggap sebagai hal biasa saja.
Pengalaman buruk paling mutakhir adalah Yunani. Negara yang memiliki sejarah dan peradaban sangat panjang itu menjadi negara maju pertama yang bangkrut. Yunani gagal membayar utang ke Dana Moneter Internasional (IMF). Maka, kelesuan ekonomi adalah sinyal.
Tak bisa dijadikan apologia karena kondisi ekonomi global juga tengah melemah. Sebab, kebangkrutan adalah kegagalan dalam mengurus negara. Hanya orang-orang bodoh dan tidak bertanggung jawab yang mau menjerumuskan negerinya dalam jurang kehancuran.
Maka, sangat menarik saat Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) memberi saran kepada Presiden Jokowi. "Kami memberikan pertimbangan dan nasihat bagaimana memperbaiki kinerja ekonomi kita. Kita harus bangkit lagi dan stabilitas ekonomi kita bisa terjaga. Meningkatkan ekonomi agar bisa kompetitif itu hal yang harus dilakukan pemerintah," tutur Ketua Wantimpres Sri Adiningsih seusai bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara, Senin (6/7).
Lalu, mungkinkah menteri-menteri ekonomi diganti? Jika melihat kondisi dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, penyegaran menteri-menteri di bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya menjadi sangat mendesak. Apalagi prestasi menteri seharusnya berbasis kinerja, bukan semata berakar relasi politis.
Memang, jalur menteri dikenal lewat partai politik dan kelompok profesional. Namun, menjadi tidak relevan lagi kalau ukuran-ukuran itu tetap dipertahankan. Misalnya, banyak yang menduga Presiden tidak akan berani mencopot menteri-menteri yang berasal dari parpol karena hal itu akan menjadi ancaman terhadap posisi Presiden sendiri. Ada asumsi menyatakan, apabila Presiden mencopot menteri-menteri yang berasal dari parpol, sama saja dengan menggergaji kakinya sendiri.
Suara-suara seperti itu pasti menjadi tekanan dan ancaman terhadap Presiden. Apalagi dikabarkan bahwa Presiden dan Wapres belum tentu sepandangan dalam isu reshuffle. Misalnya ada menteri yang mau dicopot oleh Presiden, tetapi justru ditolak oleh Wapres. Atau bisa terjadi sebaliknya. Karena, sudah menjadi rahasia umum jika ada menteri-menteri yang dikenal "orang presiden", "orang wapres", "orang partai", dan lain-lain.