JAKARTA, KOMPAS.com - Meski revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2015, KPK menyatakan tidak akan ikut menyiapkan draft revisi tersebut.
KPK tetap menolak adanya revisi dan mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuntaskan pekerjaan rumah revisi UU lainnya yang lebih penting.
"Yah nggak, sejak awal kita menilai undang-undang yang ada masih cukup memadai. Kami fokus bekerja bagaimana ke depan itu lebih efektif, lebih efisien di dalam mencegah dan memberantas korupsi," ujar Wakil Ketua KPK Zulkarnain di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (26/6/2015).
Zulkarnain menambahkan, masih ada yang lebih penting dari revisi UU KPK seperti merevisi undang-undang tindak pidana korupsi yang draftnya sudah ada sejak dulu. Selain itu, DPR juga masih "berutang" atas kewajibannya menuntaskan revisi UU KUHAP yang tak diubah selama puluhan tahun.
"Sebetulnya kan itu sudah ada draftnya, lebih bagus itu didahulukan," kata dia. (baca: Indriyanto: Pihak yang Ingin Revisi UU KPK Mungkin Takut Kena OTT)
Lebih lanjut, Zulkarnain mendukung sikap pemerintah yang menolak rencana revisi UU KPK. DPR, sebut dia, justru terlihat memaksakan dengan tetap memasukannya dalam prolegnas priortas 2015.
"Kenapa kok itu terlalu dipaksakan? Hal-hal yang dipaksakan begitu kan nggak bagus. Buat Undang-undang itu seharusnya efektif dan efisien, lebih baik dari yang ada, bukan untuk memperlemah dari yang ada," papar Zulkarnain. (baca: Agung Laksono: Tak Ada Urgensinya Revisi UU KPK)
Dia pun meragukan kesiapan DPR dalam merevisi UU KPK itu. "Kami juga tanya sejauh mana kesiapan dia sekarang dengan draftnya?" katanya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sebelumnya menegaskan, pemerintah satu suara dengan Presiden Joko Widodo untuk menolak revisi UU KPK. Ia mengatakan, percuma DPR ngotot mengajukan revisi jika Presiden menolak hal tersebut. (baca: Menkumham: Kalau Presiden Menolak, Revisi UU KPK Ya Enggak Jalan)
Yasonna mengingatkan, pembentukan atau revisi UU harus dibahas DPR bersama dengan Presiden. DPR berhak mengajukan revisi UU karena merupakan hak konstitusional. Namun, inisiatif tersebut belum tentu direalisasikan karena masukan dari Presiden juga penentu keputusan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.