JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Bidang Korupsi dan Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz meminta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencabut Surat Edaran KPU tertanggal 12 Juni 2015, yang pada pokoknya menjelaskan mengenai definisi petahana bagi kepala daerah.
Donal mengatakan, KPU seharusnya menunggu putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi Undang-Undang No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
"Kami meminta KPU mencabut Surat Edaran tersebut. KPU harus mempertimbangkan bahwa masalah ini sedang dipertimbangkan oleh MK," ujar Donal dalam konferensi pers Koalisi Kawal Pilkada Langsung di Sekretariat ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (22/6/2015).
Menurut Donal, KPU harus mempertimbangkan bahwa persyaratan bagi bakal calon kepala daerah untuk tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana ini sedang dipersoalkan konstitusionalitasnya di MK.
KPU kemungkinan besar akan menyesuiakan aturan-aturan, baik UU Pilkada, maupun Peraturan KPU, sebagai konsekuensi dari putusan MK.
Uji materi dilakukan terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pasal tersebut mengatur bahwa salah satu persyaratan bagi bakal calon kepala daerah, yaitu tidak boleh memiliki hububungan keluarga, atau kerabat dengan petahana, untuk mencegah timbulnya konflik kepentingan.
Sementara itu, peneliti Para Syndicate Toto Sugiarto mengatakan, terbitnya Surat Edaran KPU mengenai penjelasan Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 justru berlawanan dengan aturan undang-undang. Surat Edaran KPU secara tidak langsung memberikan celah bagi keluarga petahana untuk menjadi calon kepala daerah.
"Kita sepakat untuk meminimalkan politik dinasti. Tetapi, Surat Edaran KPU itu persis membalikan bandul perjuangan kita yang hampir berhasil. Akan muncul kecenderungan kepala daerah yang sekarang menjabat, keluarganya akan lolos menjadi calon kepala daerah," kata Toto.
Surat Edaran KPU semakin mempersempit definisi petahana, dengan menyatakan bahwa kepala daerah yang telah habis masa jabatannya sebelum masa pendaftaran pasangan calon, sesuai dengan tahapan pilkada, tidak termasuk dalam definisi petahana.
Selain itu, dijelaskan bahwa kepala daerah tidak lagi berstatus sebagai petahana saat mengajukan pengunduran diri dari jabatannya.
Menurut Toto, inisiatif KPU untuk menjawab pertanyaan KPU tingkat daerah mengenai definisi petahana adalah tindakan yang tidak bijak. Surat Edaran KPU membuat tidak ada lagi batasan mengenai politik dinasti, sehingga membuka peluang bagi politisi untuk melakukan siasat agar tidak termasuk sebagai kategori petahana dan memuluskan keluarganya dalam pencalonan.
Koalisi Kawal Pilkada Langsung juga mendesak MK agar segera membuat putusan terkait uji materi UU Pilkada. Hal ini menjadi penting karena dibutuhkan suatu kepastian hukum dalam pelaksanaan pendaftaran calon kepala daerah, yang akan dimulai pada 26 Juli 2015.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelumnya menilai, kepala daerah yang mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir tidak memenuhi amanah masyarakat. Terlebih lagi jika pengunduran diri itu diajukan agar keluarganya bisa maju dalam pemilihan kepala daerah serentak tahun ini. (baca: JK Kritik Kepala Daerah yang Mengundurkan Diri Jelang Pilkada)
Setidaknya sudah tiga kepala/wakil kepala daerah yang siap mundur dari posisinya semata agar keluarganya bisa maju dalam pilkada tahun ini. Ketiganya adalah Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad, Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya, dan Wakil Wali Kota Sibolga Marudut Situmorang.
JK menilai keliru jika kepala daerah tersebut menganggap keluarganya bisa mencalonkan diri dalam pilkada apabila ia mengundurkan diri. Meski petahana mundur menjelang pilkada, menurut JK, bukan berarti keluarga mereka bisa maju dalam pilkada.
Mengacu pada UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, jika kepala/wakil kepala daerah telah menjabat lebih dari 2,5 tahun, berarti mereka dianggap sudah menjabat satu periode atau lima tahun sehingga jika mundur mereka tetap berstatus petahana.
"Hanya ingin mungkin keluar daripada aturan dua masa jabatan yang penuh. Mungkin dia pikir kalau keluar dua bulan sebelumnya, tidak penuhi masa jabatan, enggak lah. Yang dimaksud dua masa jabatan selama lebih dari setengah itu satu masa jabatan, undang-undang berkata begitu," tutur Kalla.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.