Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merayakan 70 Tahun Pancasila

Kompas.com - 05/06/2015, 15:26 WIB


Oleh: Franz Magnis-Suseno

JAKARTA, KOMPAS - Pidato Soekarno muda pada tanggal 1 Juni 1945 di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah salah satu pidato politik paling penting di abad ke-20.

Bukan hanya karena isinya cemerlang. Pidato itu meletakkan dasar persatuan bagi Indonesia yang meski dengan segala macam pengalaman gelap dan kegagalan, merupakan salah satu kisah keberhasilan (success story) terbesar di antara negara-negara dunia dalam 70 tahun terakhir. Bayangkan saja akibat global andai kata negara terbesar kelima di dunia ini kacau betul. Namun, Indonesia-masih-mantap. Karena itu, sudah sepatutnya bahwa pidato historis itu diingatkan kembali dalam sekian renungan.

Tulisan ini mau mengangkat dua unsur hakiki di dalamnya: kebangsaan Indonesia dan Pancasila itu sendiri.

Kebangsaan

Dalam pidatonya, Soekarno mengingatkan sesuatu yang merupakan kunci untuk mengerti mengapa Indonesia masih berdiri kokoh. Yaitu bahwa kebangsaan Indonesia berwujud perasaan kebersamaan yang lahir dari pengalaman sejarah bersama. Kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan alami, seperti kebangsaan Korea atau Jerman, yang berdasarkan kesatuan etnik dan bahasa. Kebangsaan alami semacam itu memang kuat, tetapi rawan menjadi syovinistik dan agresif.

Kebangsaan Indonesia, sebaliknya, merupakan kebangsaan etis: Artinya, perasaan kebersamaan berdasarkan cita-cita etis luhur yang dimiliki bersama. Pengalaman bersama akan ketertindasan dan keterhinaan karena keadaan terjajah melahirkan solidaritas bangsa melampaui perbedaan suku, etnik, dan agama. Kesadaran kebersamaan itu semakin menguat dalam perjuangan bersama untuk mencapai kemerdekaan dan keadilan bagi seluruh rakyat.

Namun, kebangsaan Indonesia ada segi yang khas. Di tidak sedikit negara bekas jajahan, rasa kebangsaan perlu dipompa dari atas ke dalam masyarakat oleh elite politik, ya elite yang menerima kekuasaan dari penjajah, sesudah negara itu menerima kemerdekaan. Tak jarang lantas inti kebangsaan itu adalah, sebenarnya, nafsu dominasi suatu mayoritas. Dengan akibat bahwa minoritas-minoritas sulit beridentifikasi dengannya. Di sekian banyak negara, situasi ini bahkan melahirkan perang saudara berkelanjutan.

Namun, di Indonesia kebangsaan sudah nyata 17 tahun sebelum kelahiran negara. Sumpah Pemuda 1928 membuktikan bahwa perasaan "kami ini bangsa Indonesia" sudah betul-betul merasuk ke hati rakyat Indonesia.

Kekuatan rasa kebangsaan itu membuktikan diri tahun 1998. Omongan sesudah runtuhnya Orde Baru tentang bahaya disintegrasi-mirip Uni Soviet dan Yugoslavia-tidak pernah punya dasar nyata (dengan kekecualian dua provinsi di ujung barat dan timur Indonesia yang memang sudah lama membawa masalah). Memang, kita kemudian mengalami banyak (terlalu banyak!) konflik, tetapi konflik-konflik itu biasanya dengan tetangga dan bukan dengan Indonesia.

Kekuatan kesadaran kebangsaan kelihatan dari kenyataan bahwa mainstream agama-agama di Indonesia kokoh nasionalis. Berhadapan dengan radikalisme agama yang meremehkan kebangsaan dan semakin juga segala rasa kemanusiaan, kenyataan itu merupakan modal sosial amat penting bagi masa depan Indonesia. Lihat saja Muhammadiyah, Sarekat Islam, Nahdlatul Ulama, tetapi juga misalnya Perkumpulan Katolik, mereka semua terbentuk dalam dinamika kebangkitan nasional. Mereka dengan sendirinya sekaligus agamis dan Indonesia.

Pancasila

Akan tetapi, rasa kebangsaan hanya akan dapat dipertahankan kalau satu syarat dipenuhi. Yaitu bahwa kita bersedia saling menerima dan saling mengakui dalam kekhasan kita masing-masing.

Indonesia hanya dapat tetap kuat apabila saudara sebangsa yang Muslim tidak perlu kurang Muslim, yang Katolik tidak perlu kurang Katolik, yang Toraja tidak kurang Toraja, dan penganut Kejawen tidak perlu menyembunyikan penghayatannya karena mereka semua bangsa Indonesia.

Kesediaan untuk saling menerima dalam perbedaan itulah merupakan komitmen inti bangsa Indonesia dalam Pancasila. Di sini izinkan sebuah catatan. "Pemerasan Pancasila" oleh Soekarno menjadi "Ekasila", yaitu "gotong royong", disalahpahami seakan-akan "gotong royong" sudah cukup, lalu tak perlu selalu menyebut lima sila.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Terima Pengembalian Rp 500 Juta dari Tersangka Korupsi APD Covid-19

KPK Terima Pengembalian Rp 500 Juta dari Tersangka Korupsi APD Covid-19

Nasional
Megawati Diyakini Tak Goyah, PDI-P Diprediksi Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Megawati Diyakini Tak Goyah, PDI-P Diprediksi Jadi Oposisi Pemerintahan Prabowo

Nasional
Digugat ke Pengadilan, Bareskrim: Penetapan Tersangka Kasus TPPU Panji Gumilang Sesuai Fakta

Digugat ke Pengadilan, Bareskrim: Penetapan Tersangka Kasus TPPU Panji Gumilang Sesuai Fakta

Nasional
Soal Peluang PDI-P Gabung Koalisi Prabowo, Guru Besar UI: Megawati Tegak, Puan Sejuk

Soal Peluang PDI-P Gabung Koalisi Prabowo, Guru Besar UI: Megawati Tegak, Puan Sejuk

Nasional
Jokowi Minta Kepala BNPB Cek Masyarakat Sulbar yang Belum Dapat Bantuan Pascagempa

Jokowi Minta Kepala BNPB Cek Masyarakat Sulbar yang Belum Dapat Bantuan Pascagempa

Nasional
Jokowi Beri Isyarat Perpanjang Masa Jabatan Pj Gubernur Sulbar Zudan Arif

Jokowi Beri Isyarat Perpanjang Masa Jabatan Pj Gubernur Sulbar Zudan Arif

Nasional
Jokowi Janji Bakal Bangun Asrama dan Kirim Mobil Listrik ke SMK 1 Rangas

Jokowi Janji Bakal Bangun Asrama dan Kirim Mobil Listrik ke SMK 1 Rangas

Nasional
Prabowo-Gibran Bersiap Kembangkan Koalisi Pasca-putusan MK

Prabowo-Gibran Bersiap Kembangkan Koalisi Pasca-putusan MK

Nasional
Dirut Pertamina Paparkan Bisnis Terintegrasi yang Berkelanjutan di Hannover Messe 2024

Dirut Pertamina Paparkan Bisnis Terintegrasi yang Berkelanjutan di Hannover Messe 2024

Nasional
KPK Nyatakan Siap Hadapi Gugatan Gus Muhdlor

KPK Nyatakan Siap Hadapi Gugatan Gus Muhdlor

Nasional
“Dissenting Opinion”, Hakim MK Arief Hidayat Usul Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

“Dissenting Opinion”, Hakim MK Arief Hidayat Usul Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Jokowi Resmikan 147 Bangunan Pascagempa dan 3 Ruas Jalan Daerah di Sulbar

Jokowi Resmikan 147 Bangunan Pascagempa dan 3 Ruas Jalan Daerah di Sulbar

Nasional
Pertemuan Megawati-Prabowo, PDI-P: Yang Sifatnya Formal Kenegaraan Tunggu Rakernas

Pertemuan Megawati-Prabowo, PDI-P: Yang Sifatnya Formal Kenegaraan Tunggu Rakernas

Nasional
Prabowo Akan Bertemu Tim Hukumnya Hari Ini, Bahas Putusan MK

Prabowo Akan Bertemu Tim Hukumnya Hari Ini, Bahas Putusan MK

Nasional
Jokowi Bakal Siapkan Proses Transisi Pemerintahan Baru Usai Putusan MK

Jokowi Bakal Siapkan Proses Transisi Pemerintahan Baru Usai Putusan MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com