M Dawam Rahardjo
JAKARTA, KOMPAS - Istilah "Pancasila" memang masih sering disebut-sebut, baik oleh para politisi maupun akademisi, sebagai dasar legitimasi atau kritik sosial.
Universitas Gadjah Mada masih mempertahankan Pusat Studi Pancasila sebagai bagian dari Fakultas Filsafat walaupun pusat studi di IKIP Malang-yang dulu pernah terkenal itu-sekarang sudah tidak terdengar lagi suaranya. Namun, Pusat Studi Ekonomi Pancasila yang didirikan dan dulu dipimpin Prof Mubyarto sudah dibubarkan dan diganti dengan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan.
Dengan bubarnya Pusat Studi Ekonomi Pancasila, Pancasila tidak lagi dikembangkan sebagai sumber rekayasa sosial. Dahulu ini pernah dilakukan Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita dalam mengembangkan daerah tertinggal berdasarkan Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dipimpin Prof Mubyarto sebagai penasihat Ketua Bappenas.
Pancasila diputus dari realitas
Oleh karena itu, sinyalemen "Pancasila telah dilupakan" memang ada indikasinya walaupun tidak sepenuhnya benar. Di lain pihak selalu timbul pernyataan bahwa Pancasila sebagai ideologi negara merupakan suatu pandangan yang sudah final, bahkan akhir-akhir ini disebut sebagai pilar pertama politik kebangsaan Indonesia.
Sementara itu, Yudi Latif telah menerbitkan buku yang dinilai sebagai masterpiece mengenai Pancasila yang menjadi dasar dari sebuah "negara paripurna". Dengan perkataan lain, dengan meminjam pengertian Francis Fukuyama, Pancasila adalah suatu "the end of history", sebagai puncak perkembangan pemikiran bangsa Indonesia yang sudah menjadi paradigma pemikiran, dalam arti pemikiran yang telah mendapatkan persetujuan dari komunitas akademis yang menjadi dasar legitimasi, kritik, maupun rekayasa sosial.
Namun, karena dianggap sebagai ideologi yang final, terkesan seolah-olah Pancasila tak bisa lagi diutak-atik oleh pemikiran kritis. Boleh dibanggakan, tetapi tak boleh dikritik. Maka, jadinya, "pintu ijtihad" seolah-olah telah tertutup dalam pengembangan pemikiran. Dengan perkataan lain, Pancasila sudah jadi "ideologi tertutup". Karena tabu dibicarakan dalam pemikiran kritis yang melahirkan proses dialektika, sementara itu masyarakat Indonesia dan dunia terus berkembang dan berubah, maka Pancasila seolah-olah terputus dari realitas sehingga dirasakan tidak relevan lagi untuk dibicarakan.
Dari situlah, Pancasila seolah-olah telah dilupakan. Apalagi Pancasila tidak lagi diteorisasikan jadi sumber rekayasa sosial. Alhasil timbul kesan seolah-olah Pancasila tidak lagi hadir sebagai solusi terhadap permasalahan masyarakat karena Pancasila tak lagi dikembangkan secara historis kontekstual. Dengan perkataan lain, ia telah kehilangan relevansinya.