JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras menolak rencana rekonsiliasi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu. Wacana itu dianggap bukan solusi efektif.
"Kami mengecam sikap dan pernyataan Jaksa Agung yang menolak melakukan penegakan hukum atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu," kata Koordinator Kontras Haris Azhar di Jakarta, Senin (25/5/2015), seperti dikutip Antara.
Haris mengatakan, rekonsiliasi itu sama saja tidak menghargai kinerja Komisioner Komnas HAM sebelumnya yang telah memiliki bukti adanya pelanggaran HAM berat. (baca: Pemerintah Tawarkan Kasus Pelanggaran HAM Diselesaikan dengan Rekonsiliasi)
Ia menambahkan, langkah rekonsiliasi itu sama saja dengan memudahkan masalah, padahal kasus tersebut harus diusut tuntas. Seharusnya, lanjutnya, para pelaku dibawa ke Pengadilan HAM maupun Pengadilan HAM "ad hoc".
Karena itu, Kontras menuntut Presiden Joko Widodo berani mengeluarkan keputusan presiden untuk membentuk Pengadilan HAM "ad hoc" dan mengeluarkan instruksi presiden kepada Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Kemudian, ia meminta Jaksa Agung HM Prasetyo untuk menjalankan fungsinya melakukan penyidikan atas kasus-kasus tersebut seperti diatur dalam Pasal 21 UU No 26 Tahun 2000.
Kejaksaan Agung menilai rekonsiliasi merupakan salah satu opsi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat mengingat kasusnya sudah berlangsung lama.
"Karena itu, seperti kasus 1965, saksi sulit dicari, buktinya juga seperti itu, maka kami tawarkan untuk diselesaikan pendekatan non yudisial, penyelesaian di luar jalur proses hukum, melalui pendekatan rekonsiliasi," kata Prasetyo di Jakarta, Jumat (22/5).
Rekonsiliasi itu, kata Prasetyo, nantinya akan ditawarkan kepada Presiden. Namun, tentunya ada tahapan atau poin rekonsiliasi. (baca: Dibentuk Komite Rekonsiliasi Kasus HAM Berat Masa Lalu)
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan penyelesaian tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan di antaranya peristiwa Talangsari, Lampung, tidak tertutup kemungkinan melalui proses rekonsiliasi.
"Secara nonyudisial melalui renkonsiliasi. Kita ingin ke luar dari belenggu penyelidikan dan penyidikan yang ujung-ujungnya saling menyalahkan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Tony Tribagus Spontana di Jakarta, Rabu (20/5).
Keenam kasus pelanggaran HAM berat lainnya, yakni, peristiwa Trisaksi, Semanggi 1 dan 2, Wasior, Papua, kasus tahun 1965, dan penembakan misterius (petrus).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.