Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anomali Demokrasi Jokowi

Kompas.com - 03/05/2015, 17:08 WIB


Oleh: Teuku Kemal Fasya

JAKARTA, KOMPAS - Saya tak tahu apakah ada kondisi yang bisa berubah lebih cepat dibandingkan politik? Perubahan musim saja memiliki masa transisi yang tidak secepat sulap.

Ada musim pancaroba antara selisih musim. Perubahan budaya apalagi. Ada dimensi evolusi yang memerlukan fase tertentu sehingga sebuah kebudayaan dianggap berubah dari sebelumnya.

Revolusi negatif

Tidak ada yang menduga jika Joko Widodo, Presiden "harapan baru" Indonesia-seperti judul utama majalah Time, edisi 27 Oktober 2014-bisa berubah lebih cepat dari cuaca. Perubahan radikal luput dari hampir semua prediksi sebelumnya. Catatan ini menjadi penting melihat masa depan demokrasi di negeri ini. Padahal, harapan publik atas Jokowi cukup besar di awal 2014. Saat itu kita sedang menunggu pemimpin alternatif di tengah pemimpin politik senior konvensional berbasis partai politik. Harapan itu masih bernyala hingga ia dan Jusuf Kalla dinyatakan sebagai pemenang Pemilu Presiden-Wakil Presiden 9 Juli 2014.

Bahkan hingga detik-detik pelantikan sebagai presiden di sidang MPR pada 20 Oktober, Jokowi masih dielu-elukan sebagai sosok populis yang bisa menghentikan fase transisi demokrasi Indonesia. Ia diarak dalam sebuah kirab budaya dan pesta rakyat, menyatu dengan kulit dan keringat rakyat, menyalami mereka hingga larut malam.

Namun, perubahan besar terjadi setelah itu. Kurang dari sebulan memerintah, ia (dan tentu saja JK) mulai melakukan kebijakan tidak populer dengan menaikkan harga BBM. Kenaikan harga BBM di tengah kecenderungan harga minyak mentah dunia turun drastis dan jauh di bawah asumsi APBN Perubahan 2014 adalah keanehan dalam kacamata matematika ekonomi dan fiskal mana pun.

Serta-merta wajah bening dan semringah rakyat hilang, berganti pucat dan kecut. Mungkin lupa bahwa sebagian besar pemilih Jokowi adalah wajah rakyat kebanyakan: wong cilik, wong ndeso, dan wong prihatin.

Kampanye "pengurangan subsidi BBM" untuk kesejahteraan rakyat agar pemerintah memiliki ruang fiskal yang longgar juga tidak dipahami sebagian besar rakyat Indonesia. Istilah pengurangan subsidi pun sangat distortif dan manipulatif. Kebijakan itu semakin enigmatik karena diikuti pelbagai kebijakan turunan yang tidak sehat bagi ketahanan ekonomi rakyat, seperti kenaikan tarif dasar listrik, gas, kereta api, dan lain-lain. Pemerintah juga tak kuasa mengendalikan inflasi dan kenaikan harga bahan pokok dan transportasi publik. Semua rencana terlihat rontok terlalu dini.

Yang paling diingat sebagai proses pendarahan harapan publik adalah fenomena konflik Komisi Pemberantasan Korupsi versus Polri, terkait kasus tersangka Budi Gunawan. Kasus itu dengan cepat menjadi penanda negatif bagi proses pemberantasan korupsi satu dekade terakhir. Bukan hanya "kriminalisasi" Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dan suksesnya Budi Gunawan sebagai Wakil Kepala Polri, tetapi seluruh aura penegakan hukum yang benar dan bijaksana yang melindungi rasa keadilan publik tidak mampu tegak.

Publik melihat antagonisme pada fakta hukum nenek Asyani yang divonis satu tahun penjara karena mencuri beberapa lembar papan Perhutani, dan di sisi lain ada parade praperadilan oleh para tersangka korupsi setelah "efek Sarpin". Hukum seharusnya tidak mencari-cari kesalahan dan menganggapnya kejahatan, sementara yang sebenarnya kejahatan menjadi seolah-olah kesalahan karena justifikasi legal dan etis dari kuasa dan modal yang mendukungnya.

Fenomena ini tentu menjadi ironi ketika Jokowi seolah tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Ia dibelit kuasa di luar dirinya yang selama ini dikenal populis. Ia bukan lagi sosok wali kota Solo yang sabar bernegosiasi dengan pedagang kecil ketika proses relokasi pasar atau gubernur Jakarta yang teguh dengan ide-ide kesejahteraan sosial melalui kartu sehat dan pintar.

Idealisme perubahan yang diusungnya saat itu tidak mencederai realitas rakyat. Saat ini idealisme "Nawacita"-nya tidak nyambung dengan kebijakan-kebijakan pragmatisnya. Ini tentu bukan revolusi mental. Revolusi telah mental-terpental oleh pelbagai realitas politik-ekonomi yang tak mampu diurai dengan sabar dan konsisten.

Erosi harapan

Saat ini Jokowi semakin sulit dilihat sebagai harapan- istilah Ivan Pavlov, pakar behaviorisme peraih Nobel asal Rusia: salivasi (salivate), selera menggiurkan- yang meneguhkan semangat perubahan. Yang dilakukan Jokowi malah merusak refleks-refleks yang dikondisikan (conditioned reflexes) masyarakat untuk tetap menjadikannya impian bagi Indonesia baru. Ia belum mampu menjadi gairah bagi seluruh tumpah-darah Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Nasional
Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Nasional
Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Nasional
Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Nasional
KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

Nasional
Pengamat Heran 'Amicus Curiae' Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Pengamat Heran "Amicus Curiae" Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Nasional
Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Nasional
Marak 'Amicus Curiae', Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Marak "Amicus Curiae", Pakar: Jadi Pertimbangan Hakim MK untuk Gali Rasa Keadilan dalam Masyarakat

Nasional
Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Menpan-RB Setujui 40.839 Formasi CASN Kemensos demi Kuatkan Layanan Sosial Nasional

Nasional
Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Prabowo Disebut Sudah Minta AHY Berikan Nama Kader Demokrat untuk Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Pangkoarmada I Akan Buat Kajian agar Kapal Patroli yang Dibeli dari Italia Ditempatkan di Wilayahnya

Nasional
Pakar: 'Amicus Curiae' untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Pakar: "Amicus Curiae" untuk Sengketa Pilpres Fenomena Baru

Nasional
Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Densus 88 Polri Kembali Tangkap 1 Teroris Jaringan JI di Sulteng, Totalnya Jadi 8

Nasional
Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Yusril Tertawa Ceritakan Saksi Ganjar-Mahfud Bawa Beras 5 Kg untuk Buktikan Politisasi Bansos

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Karangan Bunga Bernada Sindiran Muncul di MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com