Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

SBY, Mega, dan Jokowi

Kompas.com - 07/04/2015, 15:13 WIB


JAKARTA, KOMPAS
- Di tepi Danau Situgintung, Ciputat, Banten, Jumat (27/3/2015), pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, membandingkan satu sama lain tujuh presiden di Indonesia sejak 1945 hingga kini.

Di tempat terpisah, peneliti senior dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro alias Wiwieq, dan salah seorang ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Noviantika Nasution (pernah menjadi Bendahara Umum DPP PDI-P), bicara sekilas tentang Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Arbi Sanit menilai Presiden Jokowi dalam mengelola pemerintahannya paling lemah dibandingkan dengan para presiden lainnya. Sementara yang paling kuat, cerdas, serta efektif mengelola demokrasi, stabilitas, kemajuan ekonomi, dan lain sebagainya adalah presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono.

Arbi Sanit memuji presiden ke-5, Megawati, yang telah menjadikan Jokowi sebagai wali kota, gubernur, dan presiden. Ia berharap, jika Jokowi dijadikan Wakil Ketua PDI-P, kelemahan presiden ke-7 itu bisa teratasi.

Akan tetapi, Wiwieq merasa kasihan jika Jokowi dijadikan pemimpin partai tingkat nasional. "Ngurusi negara saja sudah berat, apalagi ditambah ngurusi partai," ujarnya.

Menurut Arbi Sanit, Jokowi paling lemah karena tidak punya partai yang mendukungnya secara total dalam pemerintahan. Selain itu, Jokowi juga hanya punya pengalaman "secuil" di arena nasional. "Dia bukan tokoh politik nasional, terlalu cepat dari tingkat Solo yang punya lima kecamatan menjadi presiden. Di Jakarta, dia hanya satu tahun lebih," ujarnya.

Wiwieq mengemukakan, Jokowi adalah pemegang otoritas tertinggi bidang pemerintahan. "Semua kebijakan para menterinya harus bisa dipertanggungjawabkan olehnya. Semua kenaikan harga yang mengancam daya beli masyarakat serta membuat penduduk miskin semakin tidak berdaya harus direspons pemerintah dan tidak bisa diabaikan," kata Wiwieq.

Wiwieq melihat Megawati masih sebagai tokoh pemersatu PDI-P. "Tapi, beliau perlu memberi peluang regenerasi, estafet kepemimpinan dalam PDI-P, tapi tidak harus Jokowi menjadi ketua umumnya," ujarnya.

Arbi Sanit melihat SBY jadi kuat karena punya jaringan kuat, punya partai, punya pengalaman nasional, dan memilih koalisi longgar dalam pemerintahannya. SBY, menurut dia, bisa mengelola demokrasi dan kestabilan sehingga pertumbuhan ekonomi mencapai 6,2 persen dan menurun menjadi 5,2 persen saat krisis ekonomi dunia. Dalam mengelola demokrasi, SBY bisa tahan terhadap kritik dan kecaman.

"Ketika disamakan dengan kerbau, ia tidak menangkap mahasiswa yang membawa kerbau dalam unjuk rasa. KPK diberi tanah subur bekerja, termasuk menahan besannya serta para menterinya dan tokoh-tokoh partainya," kata Sanit. "Sehingga SBY bisa memerintah dua periode, 10 tahun, dan tidak sampai dimakzulkan walau melewati masalah Bank Century dan lain sebagainya," ujarnya.

Noviantika melihat, Megawati paling ringan "kesalahannya" dalam soal dinasti dalam partainya dibandingkan dengan dinasti partai-partai lainnya. "Di jajaran pimpinan teratas partai, selain dirinya, Mega, hanya ada Puan Maharani, sementara Puti Soekarnoputri di DPR," ujarnya.

Noviantika menegaskan, pemimpin partai yang punya massa besar nyata (riil) adalah Megawati. "Besarnya massa Mega bukan hasil rekayasa media massa," ujar Novi. (J Osdar)

* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Selasa (7/4/2015).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com