JAKARTA, KOMPAS.com — Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan merupakan hilir dari perangkat aturan hukum yang diterapkan di Indonesia. Sebelum PP itu direvisi, sebaiknya pemerintah merevisi perangkat aturan hukum lain yang berada di tingkat hulu.
Hal itu diungkapkan anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, saat diskusi bertajuk "Polemik Pemberian Remisi untuk Koruptor" di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) Jakarta, Selasa (24/3/2015). Adapun perangkat aturan hukum lain yang dimaksud ialah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Kalau ini (PP) mau diubah, sebaiknya harus menunggu perubahan integrated criminal justice system. Kalau tidak, nanti bisa ada tumpah tindih aturan lagi," kata Arsul.
DPR, kata Arsul, sebenarnya sudah sejak lama membahas mengenai revisi UU KUHP. Namun, upaya pembahasan tersebut sering kali menemui perdebatan yang alot sehingga hingga kini pembahasan tersebut tak kunjung menemui titik temu.
Selain merevisi KUHP, ia menambahkan, proses penanganan kasus korupsi juga harus diperbaiki sehingga jaksa penuntut umum, baik yang berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi maupun Kejaksaan Agung, berani memberikan tuntutan yang tinggi terhadap koruptor. Di samping itu, kata dia, hakim juga harus berani menjatuhkan hukuman yang tinggi pula sesuai dengan tuntutan jaksa.
"Kita harus dorong mereka agar berani menuntut dan menjatuhkan hukuman maksimal," ujarnya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly beberapa waktu lalu menyatakan, terpidana kasus korupsi mendapatkan hak yang sama seperti terpidana kasus lainnya dalam hal remisi. Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, narapidana kasus korupsi, terorisme, dan narkotika tak bisa mendapat remisi atau pembebasan bersyarat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.