Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisruh Politik Parpol

Kompas.com - 17/03/2015, 15:04 WIB


Oleh: Azyumardi Azra

JAKARTA, KOMPAS - Tak ragu lagi, kisruh politik merupakan fenomena paling menonjol dan paling mengganggu dalam bulan-bulan awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sejak Pemilihan Umum Presiden 9 Juli 2014, kegaduhan politik tidak pernah berhenti dengan berbagai dampak negatif pada penyelenggaraan negara dan pembangunan.

Padahal, sebagaimana disepakati para ahli ilmu politik, praktisi politik, dan masyarakat sipil, adalah suatu kebajikan (virtues) parpol jika ia dapat memelihara kestabilannya. Dengan stabilitasnya, parpol sekaligus berbuat kebajikan utama selanjutnya, yaitu memberikan ketenangan dan kemantapan bagi pemerintah menjalankan pemerintahan dan pembangunan.

Namun, sejak pilpres sampai sekarang, kekisruhan politik menyangkut parpol tidak mereda, tetapi terus berlanjut dengan gejala kian meningkat. Kegaduhan politik ini jelas mengganggu konsolidasi politik dan demokrasi, serta merupakan salah satu prasyarat politik penting bagi pemerintah untuk bisa bekerja dengan baik.

Kekisruhan politik terjadi pada beberapa tingkatan, mulai dari internal parpol hingga koalisi parpol Koalisi Merah Putih (KMP) yang berhadapan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kegaduhan politik pada kedua ranah politik itu pada gilirannya juga berimbas pada level pemerintahan.

Bahkan, menjelang Pemilu Presiden 2014, kekisruhan internal telah melanda Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar, yang bermula karena adanya perbedaan sikap dalam memberikan dukungan kepada salah satu dari dua pasang calon presiden dan calon wakil presiden.

Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, kala itu, mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa lewat KMP. Namun, ada elite di setiap partai itu yang ingin partainya mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Kegaduhan politik dalam dua parpol tersebut kian meningkat ketika kedua belah pihak yang bertentangan sikap politik itu saling memecat—sebuah ekspresi otoritarianisme. Akibatnya, rekonsiliasi menjadi kian sulit. Ketika konflik dibawa ke pengadilan, keputusan hakim pun tidak cukup memadai bagi resolusi konflik di antara pihak-pihak yang bertikai di PPP dan Partai Golkar.

Publik tampaknya mesti harus bersabar. Sementara kegaduhan Partai Golkar memasuki episode baru dengan perolehan isyarat baik bagi kubu Agung Laksono, Partai Amanat Nasional (PAN) yang baru menyelesaikan kongres di Bali awal Maret 2015 kini terlihat mulai terlanda friksi antara kubu Zulkifli Hasan yang menang dan loyalis Hatta Rajasa.

Friksi juga mulai terlihat di Partai Demokrat. Partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang berencana menyelenggarakan kongres pada Mei 2015 ini mulai terbelah antara kubu yang ingin Yudhoyono tetap menjadi ketua umum dan kubu Forum Komunikasi dan Deklarasi Partai Demokrat yang menolak Yudhoyono kembali memimpin partai.

Gejala sama bukan tidak mungkin melanda parpol lain ketika nanti menyelenggarakan kongres.

Mengamati gejala dan ekspresi kegaduhan politik yang berketerusan, dengan memodifikasi teori Benjamin Reilly dan Per Nordlund (2008), Indonesia tampaknya pas untuk masuk ke dalam kategori states of conflict-prone politics—negara yang rentan dengan konflik politik. Dengan masuk kategori ini, Indonesia "kian lengkap" karena sebelumnya sudah termasuk kategori conflict-prone societies—masyarakat yang rentan dengan konflik antarmasyarakat, antaretnis, dan antaragama.

Mengapa Indonesia sangat rentan konflik politik? Pada satu segi disebabkan konsolidasi demokrasi belum sepenuhnya terwujud. Reformasi lembaga politik seperti parpol telah berlangsung sejak 1998, tetapi reformasi budaya politik tidak terjadi secara signifikan. Budaya politik lama semacam otoritarianisme dan nepotisme politik terus bertahan dalam berbagai ekspresinya.

Dengan demikian, budaya politik demokratis tidak sepenuhnya terwujud dalam parpol. Parpol dikuasai oligarki yang tidak memberikan ruang bagi dialog dan akomodasi terhadap pendapat yang berbeda. Kepemimpinan parpol sejak dari tingkat pusat sampai daerah cenderung kian nepotistik—menciptakan "dinasti" pemerintahan daerah dan keanggotaan legislatif dengan memanfaatkan pemilu.

Parpol yang rawan konflik internal jelas tidak bisa dibiarkan berlanjut. Reformasi kepartaian jilid dua sangat diperlukan agar demokrasi Indonesia dapat terus terkonsolidasikan sehingga pemerintahan dapat berfungsi lebih efektif. Untuk itu, parpol perlu membenahi kelembagaannya. Parpol tidak pernah bisa kuat jika kalangan pemimpin dan anggota sering berganti parpol atau mendirikan parpol baru karena tiadanya budaya politik dialog, toleransi, dan akomodasi. Parpol perlu mengubah praktik politik yang lebih berdasarkan personal ”orang kuat” daripada anggota dan masyarakat luas.

Tak kurang pentingnya, parpol mesti terus merevitalisasi anggotanya; tidak memerlukan anggota dan simpatisan hanya pada waktu pemilu/pilkada. Parpol mesti dapat menampilkan orientasi pada kebajikan publik dengan meninggalkan pragmatisme dan oportunisme politik yang bernyala-nyala. Dengan begitu, parpol dapat menampilkan organisasi, ideologi, dan orientasi politik kerakyatan, serta kebajikan publik yang solid.

Azyumardi Azra
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Dewan Penasihat International Institute for Democracy and Electoral Assistance 2007-2010 dan 2010-2013

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Optimistis MK Diskualifikasi Gibran, Kubu Anies: Tak Ada Alasan untuk Tidak Pemungutan Suara Ulang

Optimistis MK Diskualifikasi Gibran, Kubu Anies: Tak Ada Alasan untuk Tidak Pemungutan Suara Ulang

Nasional
MK Diperkirakan Tak Akan Diskualifikasi Prabowo-Gibran

MK Diperkirakan Tak Akan Diskualifikasi Prabowo-Gibran

Nasional
Jadwal Terbaru Pelaksanaan UTBK-SNBT 2024

Jadwal Terbaru Pelaksanaan UTBK-SNBT 2024

Nasional
Dana Zizwaf Selama Ramadhan 2024 Meningkat, Dompet Dhuafa: Kedermawanan Masyarakat Meningkat

Dana Zizwaf Selama Ramadhan 2024 Meningkat, Dompet Dhuafa: Kedermawanan Masyarakat Meningkat

Nasional
MK Diprediksi Bikin Kejutan, Perintahkan Pemungutan Suara Ulang di Sejumlah Daerah

MK Diprediksi Bikin Kejutan, Perintahkan Pemungutan Suara Ulang di Sejumlah Daerah

Nasional
Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Menakar Nasib Ketua KPU Usai Diadukan Lagi ke DKPP Terkait Dugaan Asusila

Nasional
Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Nasional
TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com