JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menjadi saksi ahli sidang praperadilan Budi Gunawan versus KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (13/2/2015). Dalam salah satu keterangannya, Zainal menyebut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK memiliki multitafsir soal kolektif kolegial.
Pendapat Zainal itu berawal dari pertanyaan kuasa hukum KPK Chatarina Mulia Girsang ke Zainal. Chatarina bertanya, apa makna kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan pimpinan KPK. Mengutip salah satu ahli hukum, Zainal pun mengatakan bahwa makna kolegial kolektif dalam UU KPK merujuk pada lembaga legislatif di mana hanya memerlukan dua pertiga atau tiga perempat suara untuk memutuskan kebijakan.
Artinya, kebijakan tak memerlukan seluruh suara, yang penting memenuhi unsur kuorum. Zainal pun menjawab, mustahil setiap waktu pimpinan KPK berjumlah lima sesuai yang diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU KPK. Sebab, pasti ada kondisi di mana pimpinan KPK tengah dilanda berbagai situasi, misalnya habis masa jabatan, meninggal dunia atau mengundurkan diri dan belum digantikan oleh orang lain.
Persoalannya, Zainal tidak menemukan secara tekstual dalam UU KPK yang mengatur hal tersebut. Padahal, menurut Zainal, KPK sangat tak mungkin menghentikan penyidikan atau menunda penetapan tersangka tindak pidana korupsi hanya lantaran pimpinan KPK kurang satu orang saja.
"Harusnya diatur dalam UU KPK. Mengatur bagaimana pengambilan keputusan jika salah satu pimpinan meninggal, habis masa jabatan atau mengundurkan diri dan belum ada penggantinya," ujar Zainal.
Zainal merujuk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY). Di UU tersebut, kata Zainal, diatur apa saja kebijakan yang dapat diambil jika jumlah komisionernya tidak dalam jumlah lengkap.
Zainal mengatakan, seluruh pihak bisa saja menafsirkan macam-macam terhadap UU yang tidak konkret dan ambigu. Kondisi itu pun menjadi celah hukum yang dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Diketahui, pihak Budi mempraperadilankan KPK atas penetapan Budi sebagai tersangka. Pihak Budi berpendapat bahwa penetapan kliennya sebagai tersangka adalah tidak sah. Sebab, saat penetapan itu pimpinan KPK hanya berjumlah empat, bukan lima seperti yang diatur dalam UU KPK. Kekosongan satu pimpinan KPK itu terjadi atas alasan habisnya masa jabatan dan belum ada penggantinya hingga saat ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.