Sidang hari ini masih mendengarkan keterangan dan saksi yang dihadirkan pihak Budi. Pada Senin (9/2/2015) kemarin, tim kuasa hukum Budi membacakan hal-hal yang menjadi dasar pihaknya mengajukan gugatan praperadilan.
Dari sekian alasan yang diutarakan, salah satunya karena menganggap KPK telah merampas kewenangan Presiden Joko Widodo. Penetapan tersangka Budi hanya berselang beberapa hari setelah Presiden Jokowi mengajukan namanya sebagai calon tunggal Kapolri. Pihak Budi menganggap bahwa pernyataan KPK saat pengumuman tersangka yang menyebutkan Presiden seharusnya melibatkan KPK dalam melihat rekam jejak calon Kapolri telah melampaui kewenangannya. Dalam ketentuan perundang-undangan tidak ada aturan yang mengharuskan Presiden meminta pertimbangan KPK dalam memilih calon Kapolri.
Kuasa hukum Budi Gunawan juga menganggap KPK melanggar asas praduga tak bersalah karena penetapan status tersangka disiarkan secara langsung di media massa.
"Termohon (KPK) yang membeberkan kepada media massa secara tendensius merupakan tindakan yang melanggar asas praduga tidak bersalah," ujar salah satu kuasa hukum Budi, Maqdir Ismail, di sela sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (9/2/2015).
"Termohon mengungkapkan kepada publik soal status pemohon (Budi Gunawan) sebagai tersangka, yang sama sekali tidak pernah dikonfirmasi. Bahkan, saksi-saksi yang terkait dengan perkara belum ada yang diperiksa termohon," kata Maqdir.
Kuasa hukum Budi menilai langkah KPK tersebut merupakan salah satu bentuk perampasan hak atau harkat dan martabat Budi. Selain itu, nama baik dan kebebasan Budi juga dianggap telah dirampas oleh KPK.
Prematur
Sementara itu, KPK menilai, praperadilan yang diajukan Budi Gunawan bersifat prematur. Salah satu kuasa hukum KPK, Rasamala Aritonang, mengatakan, kewenangan lembaga praperadilan sangat terbatas, yakni mengenai sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan sah tidaknya penyitaan.
"Faktanya, sampai dengan disidangkannya permohonan praperadilan, termohon (KPK) belum melakukan upaya paksa apa pun atas diri pemohon (Budi Gunawan), baik berupa penangkapan, penahanan, dan lain-lain," ujar dia di dalam persidangan, Senin (9/2/2015).
Seharusnya, lanjut Rasamala, praperadilan itu diajukan ke pengadilan, baru dapat diajukan setelah KPK melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan penyitaan yang mengakibatkan kerugian dan membutuhkan rehabilitasi.
Rasamala juga mengkritik dasar hukum pihak Budi mengajukan praperadilan, yakni Pasal 95 ayat (1) dan (2) KUHAP. Intinya, pihak Budi menginterpretasikan kata "tindakan lain" dalam pasal tersebut sebagai dasar hukum mempraperadilankan KPK. Rasamala menilai, interpretasi kuasa hukum Budi salah. Kata "tindakan lain" yang masuk ke dalam obyek praperadilan bersifat terbatas, yakni memasuki rumah, penggeledahan, penyitaan yang tidak sah menurut hukum, termasuk penahanan tanpa alasan.
Rasamala pun menegaskan bahwa KPK belum melakukan "tindakan lain" itu terhadap Budi seusai ditetapkan menjadi tersangka. "Berdasarkan uraian itu, permohonan praperadilan terhadap termohon tidak tepat karena prematur dan oleh karenanya, permohonan itu haruslah ditolak," ujar dia.
Budi menggugat KPK atas penetapan dirinya sebagai tersangka. KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, tidak lama setelah Presiden Joko Widodo menyerahkan nama mantan ajudan presiden pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu ke Dewan Perwakilan Rakyat. Meski telah membantah memiliki rekening tidak wajar, Budi dijerat Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi oleh KPK.
Perwakilan KPK tidak hadir dalam sidang perdana karena kuasa hukum Budi Gunawan menambah materi gugatan menjelang sidang. KPK menyatakan perlu waktu lebih lama untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Tim hukum KPK akhirnya hadir dalam sidang praperadilan kedua hari ini.
Budi menggugat KPK atas penetapan dirinya sebagai tersangka. KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, tidak lama setelah Presiden Joko Widodo menyerahkan nama mantan ajudan presiden pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri itu ke Dewan Perwakilan Rakyat. Meski telah membantah memiliki rekening tidak wajar, Budi dijerat Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi oleh KPK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.