Jokowi yang saat kampanye Pemilihan Presiden 2014 sempat menjanjikan perbaikan dan fokus kepada perempuan dianggap sudah tidak ada komitmen.
"Walaupun 100 hari memang tidak bisa jadi patokan kinerja, tetapi seharusnya sudah tahu dulu apa yang akan dikerjakan. Dari semua kementerian, tidak ada yang menjadikan nasib perempuan sebagai prioritas," kata Estu Fanani dari CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) di kantor Komnas Perempuan, Minggu (8/2/2015).
Estu menjelaskan, di pemerintahan sebelumnya, terdapat sebuah acuan, yaitu Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarus-utamaan Gender (PUG).
Acuan tersebut, ujar Estu, diikuti atau bahkan menjadi nafas dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan penegakan hukum maupun pelaksanaan program pemerintah.
Dia mencontohkan, misalkan di Kementerian Perdagangan, sempat dilontarkan oleh Menteri Perdagangan Rahmat Gobel bahwa pakaian bekas tidak layak jual karena banyak bakteri.
Dari ucapan seperti itu, kata Estu, sudah mendiskriminasi para pedagang pakaian bekas yang juga sebagian besar dilakoni oleh kaum hawa.
Masih dari Jaringan Perempuan Indonesia, Lita Anggraini yang mewakili JALA PRT menyebut Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri juga tidak memikirkan nasib pembantu rumah tangga yang berada di luar negeri alias tenaga kerja wanita.
Lita mengatakan demikian karena Hanif mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan PRT yang disebut tidak adil. Tidak adil yang dimaksud adalah poin-poin dari peraturan tersebut yang mengaburkan hak-hak para pembantu.
Sebelum disebutkan tentang poin-poin itu, Lita yang ikut dalam penyampaian lisan kepada Hanif, melihat menteri menolak memberikan komitmen terkait UU Perlindungan PRT dengan mengatakan "tidak janji".
Kemudian, dalam peraturan itu, terdapat Roadmap Zero Migrant Domestic Workers 2017 yang berisi tentang rencana penghentian penempatan PRT secara bertahap. Hal ini dinilai melanggar hak PRT sebagai pekerja.
Padahal, penghentian penempatan ini juga merupakan pembatasan terhadap hak atas kerja PRT Migran dan melanggar prinsip umum yang diatur Pasal 1 Konvensi Migran 1990 yaitu prinsip non diskriminasi.
"Indonesia ini negara terbesar penyumbang tenaga kerja di seluruh dunia. Kalau dihentikan, sama saja membatasi hak perempuan untuk bermigrasi sehingga mengancam sumber pendapatan buruh migran perempuan dan keluarganya," ucap Lita.
Selain itu, yang kembali dikritik adalah sikap Hanif terhadap Ratifikasi Konvensi ILO189 Situasi Layak Kerja PRT. Hanif menolak ratifikasi tersebut dan Lita melihat hal itu sebagai ketidakmampuan Hanif untuk menerjemahkan Nawa Cita Jokowi-Jusuf Kalla.
"Negara wajib hadir dan melindungi warga negaranya sebagaimana terncantum dalam Nawa Cita. Melindungi bukanlah membatasi, apalagi mendiskriminasi. Ini juga suatu bentuk pemiskinan struktural," ucap Lita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.