Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PDI Perjuangan dan Joko Widodo

Kompas.com - 05/02/2015, 15:00 WIB


Oleh: Abdillah Toha

JAKARTA, KOMPAS - Sulit dibantah bahwa perkembangan politik akhir-akhir ini berdampak pada bermasalahnya hubungan Presiden dengan partai pengusungnya, PDI-P, berikut ketua umumnya.

Beberapa pihak menyarankan agar Jokowi mengatasi masalah ini dengan segera melakukan komunikasi melalui pertemuan dengan Megawati Soekarnoputri. Meski Jokowi sudah mulai memperbaiki hubungan dengan Koalisi Merah Putih, dukungan PDI-P dengan kursi terbanyak di DPR masih diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan program pemerintah. Hanya saja ada kasus sepele, tetapi simbolis dan menimbulkan beragam interpretasi yang mengganjal hati orang banyak. Setelah Jokowi berjumpa Ketua Umum PDI-P di Teuku Umar pada HUT PDI-P, tersebar luas gambar kepala negara kita menunduk dan mencium tangan Megawati di depan publik.

Sebuah simbol kenegaraan tertinggi menundukkan kepala di bawah seorang ketua partai. Dari sisi protokol kenegaraan, ini salah dan tak semestinya dipamerkan di depan umum. Juga tak pada tempatnya seorang presiden sering mondar-mandir ke rumah seorang ketua partai. Seharusnya, seperti yang dilakukan mantan Presiden Habibie dan Susilo Bambang Yudhoyono, jika perlu bertemu, Megawati yang seyogianya mendatangi Istana. Bukan sebaliknya. Terlalu sering ke Teuku Umar bisa membuat orang bertanya, di mana lokasi pusat pemerintahan? Merdeka Utara? Teuku Umar?

Siapa yang harus disalahkan? Jelas kesalahan utama ada pada sang presiden yang lupa beliau sekarang sudah bukan bawahan Megawati, melainkan pejabat kenegaraan tertinggi di negeri ini. Namun, kesalahan juga ada pada Ketua Umum PDI-P yang membiarkan, bahkan mungkin menikmati, kealpaan bekas anak buahnya itu yang kini jadi kepala negara. Kekeliruan itu tak hanya merugikan citra dan harkat sang presiden yang memberi kesan seakan-akan ada kekuasaan di atas presiden, tetapi juga tidak menguntungkan persepsi orang atas PDI-P dan ketua umumnya yang dianggap mendominasi presiden pilihan langsung rakyat.

Dudukkan diri, tahu diri

Kata orang bijak, arif itu adalah ketika kita mampu menempatkan segala sesuatu di tempat yang benar. Sanggup dan bersedia mendudukkan diri kita di posisi yang pas. Manuver PDI-P belakangan ini mengesankan kehendak partai menekan Presiden dalam kasus pengangkatan Kapolri bisa jadi karena ketakmampuannya menempatkan diri di tempat seharusnya. Bisa jadi karena bersumber dari rasa kepemilikan dan percaya diri PDI-P yang berlebih, bahwa presiden saat ini bagian dari dan seorang petugas partai. Karena itu, apa pun kebijakan dan keputusan presiden harus sejalan dengan garis partai atau beleid ketua umum.

Posisi ini menimbulkan kerugian ganda kepada PDI-P. Pertama, keretakan di tubuh partai jika kemudian sebagian fungsionaris partai berpihak kepada presiden dan lainnya kepada ketua umum. Ini sudah muncul di permukaan ketika ada pernyataan fungsionaris partai yang menuduh adanya "pengkhianatan" di tubuh partai. Kedua, citra partai di mata publik sebagai partai yang dianggap sok berkuasa dengan ketua umumnya di pucuk komando. Publik bertanya-tanya, ada apa di balik nafsu besar mengegolkan pengangkatan tersangka korupsi sebagai Kapolri?

Jika pemimpin PDI-P tak segera sadar dan mengubah haluan serta gaya relasinya dengan presiden, publik akan bepersepsi negatif dan itu bisa berpengaruh terhadap dukungan publik kepada PDI-P pada peristiwa politik selanjutnya. Terhadap presiden, walau sebagian pihak menuduhnya lemah dan tak berani melawan tekanan partai, pihak lain bersimpati karena menganggap Jokowi korban kekuatan politik yang jadi andalannya.

Jokowi memang membuat kesalahan pada awal pemerintahannya. Menyalahi janji kampanye, dia membentuk kabinet gemuk dan kurang berbobot dari sisi profesionalisme karena memberi terlalu banyak konsesi kepada partai pengusungnya. Namun, partai pengusung itu juga bertanggung jawab ikut menjerumuskannya sehingga janji presiden terpilih tak terpenuhi. Tampaknya, kebaikan hati Jokowi ini dibaca pihak tertentu yang merasa berjasa menjadikan Jokowi presiden RI peluang mengatur sang presiden selanjutnya.

Pola pikir partai-partai kita masih parlementer, bukan presidensial. Presiden dianggap fungsionaris partai yang ditugaskan sebagai kepala pemerintahan. Pola berpikirnya masih terkecoh seakan-akan presiden terpilih karena partai pengusungnya. Padahal, sejak presiden dan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, berkali-kali telah terbukti rakyat memilih calon presiden, calon gubernur, calon bupati, dan calon wali kota karena figur calonnya, bukan partai pengusung.

Pola pikirnya masih pada calon diuntungkan oleh partai pengusung, bukan partai yang diuntungkan oleh calon dengan elektabilitas tinggi. Selama parpol di negeri ini masih terkungkung pola pikir sempit itu, selama masih beranggapan bahwa partailah yang paling berjasa dalam menentukan kemenangan presiden atau kepala daerah, selama para petingginya gagal mengukur diri dan lingkungannya secara obyektif, selama itulah partai akan gagal jadi penopang dan hanya jadi pengganggu eksekutif yang diusung ketika menang pemilu.

Karena masih ada waktu sebelum persaingan dimulai pada pemilu serentak kepala daerah menjelang akhir 2015, PDI-P sebaiknya mengubah pola pikir dan perilaku politiknya dengan memberi dukungan proporsional kepada presiden yang diusungnya dengan gemilang sehingga programnya yang banyak diharapkan masyarakat mencapai hasil optimal. Hanya dengan demikian persepsi masyarakat akan kembali seperti awal pencalonan Jokowi, ketika banyak pihak mengelu-elukan sikap kenegarawanan ketua umumnya yang arif dan berpandangan jauh ke depan.

Abdillah Toha
Pemerhati Politik

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Nasional
Apa Gunanya 'Perang Amicus Curiae' di MK?

Apa Gunanya "Perang Amicus Curiae" di MK?

Nasional
Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Nasional
Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Nasional
Yusril Sebut Kekalahan Prabowo di Aceh Mentahkan Dugaan 'Cawe-cawe' Pj Kepala Daerah

Yusril Sebut Kekalahan Prabowo di Aceh Mentahkan Dugaan "Cawe-cawe" Pj Kepala Daerah

Nasional
Kejagung Kembali Sita Mobil Milik Harvey Moeis, Kini Lexus dan Vellfire

Kejagung Kembali Sita Mobil Milik Harvey Moeis, Kini Lexus dan Vellfire

Nasional
Yusril Harap 'Amicus Curiae' Megawati Tak Dianggap Tekanan Politik ke MK

Yusril Harap "Amicus Curiae" Megawati Tak Dianggap Tekanan Politik ke MK

Nasional
Soal Peluang Rekonsiliasi, PDI-P: Kami Belum Bisa Menerima Perlakuan Pak Jokowi dan Keluarga

Soal Peluang Rekonsiliasi, PDI-P: Kami Belum Bisa Menerima Perlakuan Pak Jokowi dan Keluarga

Nasional
IKN Teken Kerja Sama Pembangunan Kota dengan Kota Brasilia

IKN Teken Kerja Sama Pembangunan Kota dengan Kota Brasilia

Nasional
Yusril Sebut 'Amicus Curiae' Megawati Harusnya Tak Pengaruhi Putusan Hakim

Yusril Sebut "Amicus Curiae" Megawati Harusnya Tak Pengaruhi Putusan Hakim

Nasional
ICW Dorong Polda Metro Dalami Indikasi Firli Bahuri Minta Rp 50 M Ke SYL

ICW Dorong Polda Metro Dalami Indikasi Firli Bahuri Minta Rp 50 M Ke SYL

Nasional
Sertijab 4 Jabatan Strategis TNI: Marsda Khairil Lubis Resmi Jabat Pangkogabwilhan II

Sertijab 4 Jabatan Strategis TNI: Marsda Khairil Lubis Resmi Jabat Pangkogabwilhan II

Nasional
Hasto Beri Syarat Pertemuan Jokowi-Megawati, Relawan Joman: Sinisme Politik

Hasto Beri Syarat Pertemuan Jokowi-Megawati, Relawan Joman: Sinisme Politik

Nasional
Menerka Nasib 'Amicus Curiae' di Tangan Hakim MK

Menerka Nasib "Amicus Curiae" di Tangan Hakim MK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com