Maka, tatkala keutuhan partai sebesar Golkar terancam robek karena regenerasi kepemimpinan yang dinilai payah, alarm harus dibunyikan karena itu artinya partai gagal melihat jernih dirinya dalam konteks politik modern.
Upaya mengusung kembali Aburizal Bakrie sebagai ketua umum—di tengah pelbagai sorotan atas kepemimpinan dan performa politiknya—dan berhasil, memancing implosi politik dari dalam partai beringin sendiri.
Regenerasi dan kaderisasi adalah dua kata mantra yang dilanggar oleh siasat elite yang hendak menahan status quo selama mungkin. Ringkas kata: idealnya tak ada ”darah biru” yang boleh diistimewakan dalam politik.
Kerugian
Golkar mungkin hanya salah satu contoh tentang rapuhnya partai-partai pemeran utama dalam kalender politik hari ini. Sirkulasi elite sering mencelakakan partai-partai pada situasi krisis, yang bukan hanya menyangkut kepemimpinan, melainkan juga menghubungkannya secara total dengan konsistensi ideologi dan gagasan yang ia bawa.
Ada beberapa kerugian mendasar dari dipeliharanya skema ”darah biru” atau sangre azul dalam politik. Pertama, skema ini hanya memberikan tangga naik bagi segelintir elite dalam lingkaran paling inti, dan tak diciptakan anak tangga turun.
Partai bukanlah pasar bebas, tetapi bukan pula berarti dibasmi segala gerakan sahih untuk suatu regenerasi. Kecemburuan dan pembusukan dari dalam adalah konsekuensi selanjutnya.
Itu sebabnya, kuasa Soeharto dan Cendana atas Golkar selama seperempat abad menciptakan pembusukan yang sukar dihapus dan menjadi cacat sejarah yang memengaruhi performa Golkar pada era Reformasi. Berapa kali pun buku putih dirilis untuk mencuci sejarah tampak sebagai usaha sia-sia.
Kedua, politik ala darah biru sekaligus menegaskan bahwa genealogi partai-partai pasca Orde Baru di Indonesia sesungguhnya warisan Orde Baru belaka. Mati-matian ilmuan politik membedakan antara pseudo-demokrasi era Soeharto dan masa kini; padahal kini kita tahu jika semua itu sekadar bertukar wajah.
Siasat sistematis untuk mengurung kepemimpinan politik dalam lingkaran tertentu adalah corak khusus dari rezim yang lalu. PDI-P dengan poros Megawati, Demokrat yang SBY-sentris, atau PPP yang berjuang setengah mati demi Suryadharma Ali adalah beberapa saja yang dihinggapi masalah serupa. Isu kepemimpinan seolah menjadi pemicu turbulensi abadi dengan motif sama: pemimpin petahana yang enggan turun gelanggang.
Ketiga, membuntu sirkulasi dan regenerasi elite berarti juga menjauhkan partai dari gerak progresif. Lagi-lagi kondisi demikian tak sesuai dengan takdir politik yang mengelola sekaligus menjalankan kekuasaan sebijak-bijaknya demi rakyat.
Kelompok lama dianggap terlampau lamban merespons keadaan dan menjawab tantangan karena mereka disibukkan pada konsolidasi ruling elite yang tiada habisnya. Sekalipun ada pergantian kepemimpinan, pergantian itu haruslah diselenggarakan di antara mereka yang sama-sama memiliki ”trah” atau restu yang diberikan kamitua pendahulunya. Tak ada bedanya antara pengganti dan yang diganti.
Resep ideologi
Ideologi mungkin disepelekan dalam politik hari ini. Ia dikerdilkan sebatas jargon dan bukan substansi. Tetapi, andai kita tak malas berkaca pada sejarah, resep paling andal untuk penyakit partai hari ini ada dalam ideologi.