JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Humas BNN Kombes Sumirat Dwiyanto mengungkapkan, sebanyak 70 persen pengguna narkoba di Indonesia saat ini adalah pekerja di usia produktif. Sebanyak 22 persen lainnya adalah pelajar dan mahasiswa. Sementara 8 persen adalah kategori lain.
"Totalnya 4 Juta orang, kita paling banyak di ASEAN dari segi jumlah," Sumirat kepada Kompas.com, Rabu (10/12/2014).
Modus yang sering dipakai oleh para pengedar, kata Sumirat, adalah dengan menyamarkan narkoba menjadi semacam suplemen kesehatan. Umumnya, narkoba yang disebarkan adalah jenis baru sehingga masyarakat awam tidak bisa mengenalinya.
"Orang orang cenderung bekerja overtime dalam rangka kebutuhan hidup, mereka membutuhkan suplemen. Suplemen ini lah yang dijadikan modus bagi pengedar," ujar Sumirat.
Narkoba yang menyerang kalangan pelajar, mahasiswa dan pekerja di usia produktif ini, kata Sumirat, sangat memprihatinkan. Harusnya, mereka dapat mengemban ilmu dan menjalani karir dengan baik, namun justru harus terhambat karena menjadi korban narkoba.
"Karena itu kita sepakat yang namanya pecandu narkotika penanganannya lebih baik direhabilitasi daripada di penjara," ucapnya.
Terkait hukumannya, ada lima terpidana mati kasus narkoba akan dieksekusi pada Desember 2014. Pelaksanaan eksekusi itu tinggal menunggu surat dari Jaksa Agung HM Prasetyo.
"Eksekusi bulan ini, Desember. Nanti akan ditembak, pasti. Tetapi, eksekusi akan menunggu surat dari Kejagung," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (4/12/2014).
Presiden Joko Widodo memastikan akan menolak permohonan grasi yang diajukan oleh 64 terpidana mati kasus narkoba. Kepastian itu disampaikan Presiden Jokowi di hadapan civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dalam kuliah umum yang digelar di Balai Senat Gedung Pusat UGM, Selasa (9/12/2014).
"Saya akan tolak permohonan grasi yang diajukan oleh 64 terpidana mati kasus narkoba. Saat ini permohonannya sebagian sudah ada di meja saya dan sebagian masih berputar-putar di lingkungan Istana," kata Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi menegaskan, kesalahan itu sulit untuk dimaafkan karena mereka umumnya adalah para bandar besar yang demi keuntungan pribadi dan kelompoknya telah merusak masa depan generasi penerus bangsa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.