JAKARTA, KOMPAS.com - Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mempertanyakan sanksi denda yang terlalu kecil atas pelanggaran batas wilayah Indonesia oleh pesawat asing. Ia menilai sebaiknya sanksi yang diberikan lebih besar dan memberikan efek jera.
Hal itu disampaikan oleh Moeldoko terkait pelanggaran batas wilayah negara oleh pesawat jet Gulfstream HZ-103 milik Pemerintah Arab Saudi, Senin (3/11/2014). Pesawat itu dipaksa mendarat di Pangkalan TNI Angkatan Udara El Tari, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Setelah pemiliknya membayar denda Rp 60 juta, pesawat itu bisa terbang kembali.
"Dalam Pasal 414 UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, bahwa sudah jelas hukumannya (maksimal) 5 tahun atau denda Rp 2 miliar, tapi kenapa hanya dikenakan denda Rp 60 juta?" kata Moeldoko di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (13/11/2014).
Moeldoko menyatakan, pada kasus pelanggaran yang tidak menimbulkan ancaman serius bagi negara, pendekatan diplomatik tetap dikedepankan. Setiap kali mendeteksi adanya pelanggaran, baik di laut, udara, dan darat, ada proses diplomasi yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri. Ini dilakukan karena Indonesia tidak ingin bermusuhan dengan negara tetangga.
Meski demikian, Moeldoko menilai bahwa sebaiknya TNI Angkatan Udara dilibatkan dalam proses penyelidikan pelanggaran wilayah udara. Ia berharap ada revisi atas aturan yang melarang TNI AU masuk dalam ranah penyelidikan tersebut.
Saat ini, pelanggaran di wilayah udara Indonesia diurus oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) otoritas bandara di Kementerian Perhubungan. TNI AU tidak dilibatkan dalam penyelidikan. Pelibatan TNI dalam penyelidikan hanya dilakukan jika ada pelanggaran di wilayah perairan Indonesia. Kesenjangan aturan ini yang membuat Panglima TNI meminta agar TNI AU dilibatkan. "Faktanya (TNI AU) belum dilibatkan, nanti harus disesuaikan undang-undangnya," kata Moeldoko.
Hal yang sama disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen TNI Fuad Basya. Menurut Fuad, keterlibatan TNI AU dalam proses penyelidikan kasus pelanggaran di wilayah udara perlu agar proses penindakannya tidak sebatas administrasi belaka.
"Di laut, Angkatan Laut ikut menyidik, tapi di udara tidak. AU hanya sampai force down, diperiksa apakah ada keterkaitan dengan ancaman keselamatan atau tidak. Kalau tidak, diserahkan ke PPNS. Harusnya AU ikut juga karena pelanggaran udara yang menangkap AU," kata Fuad.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.