Oleh: Sudaryono
KOMPAS.com - Ketika riset dan teknologi serta pendidikan tinggi disatupadukan dalam suatu lembaga tunggal, akan ada dua kemungkinan besar yang dapat terjadi.
Kemungkinan pertama adalah riset dan teknologi (ristek) akan menjadi ujung tombak penyelenggaraan pendidikan tinggi sehingga ristek akan menjadi pemandu ke depan arah dan warna pendidikan tinggi.
Kemungkinan kedua adalah premis-premis besar yang selama ini telah dibangun dan dihasilkan oleh pendidikan tinggi dituntut memiliki implikasi verifikatif dan inovatif sehingga ristek menjadi jalan bagi pendaratan empiris pikiran-pikiran besar keilmuan pendidikan tinggi.
Paradigma induktif
Kemungkinan yang pertama akan membawa implikasi pada perubahan struktur kurikulum atau paling tidak pada silabi penyelenggaraan pendidikan tinggi yang akan memberikan porsi lebih besar beban satuan kredit semester (SKS) riset bagi proses pembelajaran di perguruan tinggi daripada porsi untuk beban SKS teori. Paradigma dari penyelenggaraan perguruan tinggi untuk kemungkinan pertama ini layak disebut sebagai ”paradigma induktif”, artinya mahasiswa diajak membangun ilmu-ilmu induktif melalui proses kerja riset.
Pendek kata, paradigma ini mengajak dan membawa mahasiswa untuk ”berani membangun pikirannya sendiri melalui riset” atau ”berani membangun personal view melalui riset”. Paradigma ini diharapkan akan melahirkan manusia-manusia Indonesia yang ”percaya diri”, ”bermental penemu sekaligus pemandu”, dan ”memiliki kapasitas mempelita” mirip dengan kualitas manusia-manusia hasil karya abad renaisans di Eropa.
Paradigma ini akan membawa perguruan tinggi bersetubuh dengan realitas empiris di lapangan dan akan membangkitkan kembali tema-tema besar kedaulatan bangsa dan negara yang selama ini telah terabaikan, termasuk tema besar kemaritiman, pangan, kesehatan, kemanusiaan, teknologi, serta energi.
Paradigma deduktif
Kemungkinan kedua yang bisa terjadi adalah penggabungan ini akan membawa implikasi pada ”penguatan”, ”peneguhan”, dan ”penegasan” tentang apa yang selama ini sudah berjalan dengan mapan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Riset atau ”penelitian” telah ditetapkan menjadi digit kedua di dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Digit kesatu diduduki oleh ”pendidikan dan pengajaran” dan digit ketiga diisi oleh ”pengabdian kepada masyarakat”.
Penyelenggaraan riset dalam praktik pendidikan tinggi di Indonesia telah berhasil membawa perguruan-perguruan tinggi membangun jaringan dan jalinan riset internasional, sehingga peneliti-peneliti di perguruan tinggi Indonesia telah terintegrasi dengan baik dengan sejawat-sejawat keilmuan di seluruh dunia. Ketika tema-tema besar penelitian di dunia berubah, dengan cepat peneliti-peneliti perguruan tinggi di Indonesia menyesuaikan dan meneguhkannya.
Paradigma penyelenggaraan perguruan tinggi seperti ini barangkali bisa disebut sebagai ”paradigma deduktif”, artinya kerja riset di perguruan tinggi mengarah pada ”pembuktian”, ”verifikasi”, dan ”peneguhan” premis-premis besar dunia melalui riset dan kasus-kasus yang ada di Indonesia. Paradigma ini telah memosisikan perguruan tinggi di Indonesia menjadi bagian penting dari tema-tema besar jaringan keilmuan dunia. Namun, sayangnya tema- tema besar dan sangat konkret yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia menjadi ”agak terabaikan”.
Paradigma tengah
Di luar dari kedua kemungkinan di atas, ada kemungkinan ketiga yang ”bisa terjadi”, yakni kemungkinan Indonesia berani membuat ”Piramida Bidang Keilmuan” dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Artinya, bidang-bidang ilmu yang sudah terlalu kegemukan lulusannya, sehingga menimbulkan pengangguran samar, perlu dirampingkan sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan (sebagai catatan tebal bahwa perampingan bukan diartikan penghapusan bidang ilmu, karena tugas utama perguruan tinggi adalah pemelihara dan pengembang ilmu; perampingan yang dimaksud adalah perampingan jumlah mahasiswa yang diterima dan lulusan yang dihasilkan).
Di sisi lain, untuk bidang-bidang ilmu yang terkait dengan tema-tema besar yang dihadapi bangsa, jumlah lulusan yang dihasilkan perlu digemukkan disesuaikan dengan kebutuhan nyata di lapangan. Paradigma untuk kemungkinan ketiga ini sementara kita sebut sebagai ”paradigma tengah” atau tepatnya ”paradigma pragmatis”. Di dalam paradigma ini unsur ketiga, yakni industri, perlu diikatkan dalam penggabungan ristek dan dikti. Hal ini mirip yang terjadi di Jepang saat Restorasi Meiji pada tahun 1870, Korea pada 1971, dan Taiwan pada 1978. Trilogi yang terdiri dari ristek-dikti-industri telah mengubah ketiga negara tersebut menjadi negara industri yang sangat disegani.