JAKARTA, KOMPAS.com — Kalangan masyarakat sipil menolak jika Presiden Joko Widodo mengangkat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Widyo Pramono menjadi jaksa agung. Selain karena diragukan komitmennya di dalam pemberantasan korupsi, pengangkatan Jampidsus yang saat ini tengah menangani kasus pengadaan bus transjakarta itu akan memunculkan kesan terjadinya barter kasus.
”Tidak elok, baik untuk kejaksaan maupun untuk Jokowi sendiri. Akan menimbulkan tuduhan bahwa pengangkatan itu transaksional sehingga justru menghancurkan keduanya,” kata Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi (Maki) Boyamin Saiman, Selasa (28/10/2014), di Jakarta.
Kejaksaan Agung di bawah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sedang menangani dugaan korupsi dalam pengadaan bus transjakarta. Pengadaan itu dilakukan dalam masa kepemimpinan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Menurut Boyamin, langkah tersebut sebaiknya dihindari oleh Jokowi. Nama Jokowi justru akan jatuh karena bisa dituduh pengangkatan pejabat Jampidsus dimaksudkan untuk menyelamatkan Jokowi dari anggapan keterlibatan dalam perkara bus transjakarta.
Boyamin mengungkapkan, pihaknya memiliki catatan yang tidak bagus mengenai kinerja Widyo ketika menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi di Jawa Tengah. Saat itu, kata Boyamin, banyak kasus mandek, seperti kasus yang melibatkan Bupati Karanganyar Rina Iriani. Kalaupun ada kasus yang ditangani, Boyamin menilai hal itu dilakukan karena ada unsur pamrih di dalamnya.
Selain Widyo, nama-nama yang disebut-sebut sebagai calon jaksa agung adalah Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf dan mantan Kepala PPATK Yunus Husein, serta Zulkarnaen dan Busyro Muqoddas yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tak berprestasi
Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, mengungkapkan, pihaknya juga kurang setuju jika Widyo ditunjuk menjadi jaksa agung. Sebab, selama menjadi Jampidsus, pihaknya menilai tak ada prestasi yang menonjol selama masa kepemimpinannya. Beberapa kasus yang ditangani bahkan sebagian besar menimbulkan kontroversi di publik.
”Tidak ada prestasi yang signifikan. Banyak kasus yang mandek, misalnya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), seperti pembunuhan aktivis HAM, Munir, tidak berlanjut. Jadi, agak rentan kalau yang bersangkutan di posisi eksekutif,” ujar Erwin.
Boyamin ataupun Erwin menyarankan Jokowi agar memilih figur lain. ”Memang ada perdebatan tentang apakah jaksa agung harus berasal dari internal atau eksternal Kejaksaan Agung. Kalau menurut saya, sebaiknya dari internal, tetapi pernah ’sekolah’ di luar (kejaksaan). Misalnya, pernah di KPK atau PPATK,” katanya.
Keduanya kemudian menyodorkan nama Muhammad Yusuf.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.