Hal tersebut, kata Haris, tentu saja menimbulkan kekecewaan masyarakat terhadap anggota parlemen. "Ada hak yang namanya hak partisipasi. Hak ini yang dimiliki oleh masyarakat yang direnggut oleh DPR," ujar Haris saat dihubungi, Sabtu (27/9/2014).
Haris menyayangkan pengesahan undang-undang tersebut tanpa melibatkan masyarakat untuk mempertimbangkan dampak baik atau buruknya. Padahal, kata Haris, hak memilih kepala daerah merupakan hak konstitusional masyarakat sebagai warga negara.
"Alasan biaya dan korban atau konflik tidak bisa digunakan untuk menghilangkan hak pertisipasi ini. Masa perabotan yang rusak tapi malah membakar rumahnya?" kata Haris.
Oleh karena itu, Kontras pun berinisiatif untuk mewadahi aspirasi masyarakat yang ingin menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat lainnya, Haris mengajak masyarakat berpartisipasi dalam gerakan menentang UU Pilkada.
"Ini untuk menunjukan bahwa rakyat sudah melek dan kecewa dengan keputusan DPR," ujarnya.
Haris mengimbau masyarakat yang ingin bergabung untuk menggugat UU Pilkada ke MK agar mengirimkan nama, nomor telepon yang dapat dihubungi, beserta pernyataan kerugian yang didapat dengan disahkannya UU Pilkada yang baru ke nomor 082217770002.
Haris mengatakan, pendaftaran masih dibuka hingga waktu yang belum ditentukan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.