JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Demokrat menilai UU Pilkada yang dihasilkan oleh DPR tidak sesuai dengan logika demokrasi. Ia pun menilai UU tersebut bertabrakan dengan UU lain yang mengatur DPRD dan pemerintahan daerah.
"Disini yang saya lihat tidak benar dalam logika didalam merumuskan UU ini. Saya berpikir karena ini prinsip, demokrasi, kedaulatan rakyat, ini koreksi besar selama 10 tahun ini, saya sendiri ambil sikap tetap pilih langsung, tetapi dengan perbaikan," kata SBY dalam tayangan di akun YouTube "Suara Demokrat", Jumat tengah malam (26/09/2014).
SBY menekankan, dengan dipilihnya kepala daerah oleh DPRD sama saja kemunduran dalam demokrasi. Ia pun memertanyakan alasan DPRD mendapatkan mandat untuk dapat menentukan kepala daerah di era reformasi ini.
"Saya ingin tanyakan kepada sodara-sodara kami para politisi, siapa yang berikan mandat kepada DPRD untuk dapat memilih gubernur, bupati, dan walikota?" tanya SBY.
SBY kemudian menerangkan, ada benturan dalam UU Pilkada dengan perundang-undangan lain yang juga mengatur tentang pemilu dan pemerintahan daerah. Ia pun menyebut UU Pilkada berbenturan dengan UU MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) dan UU Pemerintah Daerah.
"Kalau UU yang mengatur DPRD, rezimnya sekarang masuk UU Pemda, dulu rezimnya di UU MD3, rezimnya berubah sekarang, bayangkn ada UU Pilkada, yg memilih kepala daerah itu DPRD, sementara UU yang mengatur DPRD itu sendiri tidak memberi wewenang apapun, bagaimana mungkin dieksekusi UU yang baru ini," papar SBY.
Lebih jauh, SBY menyebut dirinya sebagai Presiden berat untuk menandatangani UU Pilkada. Ia pun kemudian menegaskan ada konflik UU Pilkada dengan perundang-undangan lainnya.
"Sebagai Presiden, berat bagi saya tandatangani UU Pilkada, selama saya tahu ada konflik dan perbedaan yang mendasar dengan UU lain, apalagi UU itulah yang mengatur pemerintahan daerah seperti apa, DPRD seperti apa," tutur SBY.