Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pencabutan Hak Politik Luthfi Hasan Peringatan bagi yang Nekat Main Kekuasaan

Kompas.com - 16/09/2014, 08:58 WIB
Icha Rastika

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menilai, pencabutan hak politik mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq oleh hakim Mahkamah Agung menjadi sinyal peringatan bagi pejabat publik lainnya agar tidak bermain-main dengan kekuasaan. (Baca: MA Nilai Perbuatan Luthfi Hasan merupakan Korupsi Politik)

Ke depannya, KPK akan tetap menuntut setiap pejabat publik yang menjadi terdakwa korupsi untuk dicabut hak politiknya.

"Sebagai sinyal bagi yang terus nekat main-main dengan kekuasaan. KPK akan berlakukan tuntutan standar ini," kata Busyro melalui pesan singkat yang diterima Kompas.com, Selasa (16/9/2014) pagi.

KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN Busyro Muqodas
Busyro menanggapi putusan kasasi MA yang memperberat hukuman Luthfi menjadi 18 tahun penjara dari 16 tahun penjara. Dalam putusannya, MA juga mencabut hak Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik. Atas putusan ini, kata Busyro, KPK mensyukurinya. Dia menyebut MA sudah bertindak progresif dan melindungi peternak yang menjadi korban dalam kasus Luthfi. (Baca: Hak Politik Luthfi Hasan Ishaaq Dicabut, Hukumannya Diperberat Jadi 18 Tahun)

Busyro mengatakan, kasus suap kuota impor daging sapi yang melibatkan Luthfi merupakan korupsi yang berdampak sistemik.

Selaku anggota DPR, Luthfi terbukti melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi imbalan atau fee dari pengusaha daging sapi. Ia juga terbukti menerima janji pemberian uang senilai Rp 40 miliar dari PT Indoguna Utama dan sebagian di antaranya, yaitu senilai Rp 1,3 miliar, telah diterima melalui Ahmad Fathanah. 

Menurut Busyro, memperdagangkan pengaruh (trading in influence) yang dilakukan Luthfi bisa memengaruhi kebijakan pemerintah terkait impor daging yang dampaknya bisa merugikan peternak nasional. (Baca: Mengapa Koruptor Harus Dicabut Hak Politiknya? Ini Alasan KPK!)

"Kasus ini bagi KPK merupakan korupsi sistemik, berupa sejumlah kebijakan-kebijakan pemerintah untuk impor sapi dengan menelantarkan peternak sapi sebagai rakyat kelas bawah yang seharusnya diproteksi pemerintah agar mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri," tutur Busyro.

Ketua majelis kasasi perkara Luthfi, Artidjo Alkostar, mengatakan, hubungan transaksional yang dilakukan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera itu dengan pengusaha sapi merupakan korupsi politik. (Baca: KPK Apresiasi Putusan Kasasi MA yang Perberat Hukuman Luthfi Hasan)

”Hubungan transaksional antara terdakwa yang anggota badan legislatif dan pengusaha daging sapi Maria Elizabeth Liman merupakan korupsi politik karena dilakukan terdakwa yang dalam posisi memegang kekuasaan politik sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious crime),” ujar Artidjo, yang menjabat Ketua Kamar Pidana MA, seperti dikutip harian Kompas, 16 September 2014.

Sebelumnya, Luthfi divonis 16 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia dinyatakan terbukti korupsi dan melakukan tindak pidana pencucian uang. Pengadilan tipikor juga menjatuhkan hukuman tambahan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hanya memperbaiki lamanya subsider denda, yaitu dari satu tahun kurungan menjadi enam bulan kurungan. (Baca: Darin Tawakal Luthfi Hasan Tetap Dihukum 16 Tahun)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Nasional
Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Nasional
Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Nasional
Wapres Sebut Target Penurunan 'Stunting' Akan Dievaluasi

Wapres Sebut Target Penurunan "Stunting" Akan Dievaluasi

Nasional
Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com