Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah Negara Islam Dilarang di Indonesia

Kompas.com - 01/09/2014, 18:13 WIB


Oleh:

KOMPAS.com - TENTU sebagai sebuah gerakan terorisme berkedok Islam, Negara Islam sangat membahayakan.

Penulis mengapresiasi langkah cepat dan tegas pemerintah yang pada 1 Agustus lalu menetapkan Negara Islam (NI) sebagai gerakan terlarang dan aparat secara sigap menangkap siapa saja yang terlibat dengannya. Itulah agenda jangka pendek yang tepat dan mendesak bagi pemerintah serta aparat, terkait dengan NI di Indonesia.

Namun, apabila dilihat secara utuh, mendasar, dan substansial, NI hanyalah gejala yang muncul memanfaatkan kondisi di tengah kegaduhan politik di Irak dan Suriah. Oleh karena itu, sebagian media dan pengamat dunia cenderung menyindirnya sebagai sebuah lelucon. Tidak jarang ditemui di berbagai media sosial dan Youtube pelbagai dagelan atau parodi yang dibuat untuk menertawakan NI dengan segala tingkah polahnya.

Tak berlebihan pula jika pengamat politik Abdulkhaleq Abdullah meremehkan kemampuan Al-Baghdadi dan NI-nya, apalagi jika dibandingkan dengan Osama bin Laden dan Al Qaeda-nya. Seperti dikutip Reuters, ia menyebut Baghdadi tidak memiliki sedikit pun dari kredibilitas dan kepercayaan seperti yang dimiliki Osama.

NI lebih terlihat semacam separatis Muslim yang mencoba-coba keberuntungan dalam kondisi quo. Mereka membangun ajaran dan ideologi secara ngawur dan melakukan gerakan teror secara membabi buta. Bahkan, sampai-sampai kini mereka mengafirkan eks ”tuan”-nya, Al Qaeda, karena tidak mau tunduk kepada brutalitas doktrin, ideologi, dan gerakan NI.

Oleh karena itu, dengan mudah NI diharamkan, dilarang, dipojokkan, dan dihabisi. Apalagi
di Indonesia yang Islam-nya damai, santun, rukun, dan ”berbunga-bunga” (menyukai akulturasi ajaran dan budaya setempat yang oleh ideologi NI yang ”gersang” itu cenderung disebut sebagai bidah) serta umatnya sejak awal telah meyakini Pancasila sebagai ideologi yang islami dan tepat untuk Muslim Indonesia.

Namun, menarik sekaligus mengejutkan membaca laporan Time yang menyebutkan bahwa militan NI di Suriah bukan justru datang dari Timur Tengah, melainkan kebanyakan dari Indonesia. Laporan ini, salah satunya, didasarkan pada penelitian serius Sidney Jones selama bertahun-tahun tentang terorisme dan akar-akarnya di Indonesia.

Beberapa mujahidin asal Indonesia dikirim ke Suriah untuk misi jihad dan indoktrinasi tentang ideologi ekstrem ala NI, kemudian kembali ke Indonesia dan mengindoktrinasi serta merekrut mujahidin dan begitu seterusnya membentuk jaringan teroris. Mereka direkrut dari ideologi dan gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia yang memang berkembang pesat.

Oleh karena itu, menurut penulis, di samping pelarangan dan eksekusi terhadap NI dan siapa saja yang terkait dengannya, yang mendesak dan penting diwaspadai serta dihabisi secara serius dalam upaya pemutusan jaringan adalah ajaran neo-Khawarij yang menjadi ladang subur bagi gejala semacam NI tersebut. Itulah agenda jangka panjang selanjutnya yang harus dilakukan seluruh elemen bangsa ini.

Karakter neo-Khawarij

Mudahnya NI masuk ke Indonesia dan, misalnya juga, Malaysia adalah karena karakter neo-Khawarij yang telah lama bersemi di Indonesia dan Malaysia. Jika di Irak dan Suriah mereka menjadi fenomena yang memanfaatkan status quo politik, di Indonesia dan Malaysia mereka menjadi fenomena yang memanfaatkan keberislaman bercorak neo-Khawarij di Indonesia dan Malaysia. Tak heran jika deklarasi NI terjadi di kota-kota yang selama ini memang tercatat memiliki corak keberislaman cita rasa Khawarij, yakni Ciputat, Bekasi, Solo, dan Malang.

Corak keberislaman cita rasa Khawarij atau neo-Khawarij yang dimaksud adalah corak keberislaman yang menyerupai atau malah bentuk ekstrem dan lebih mengerikan dari Khawarij. Khawarij awalnya sebuah gerakan politik yang berkhianat pada keputusan arbitrase (tahkim) Sayyidina Ali. Karena itu, mereka disebut khowaarij (secara bahasa berasal dari kata khowaarij yang berarti ’mereka yang keluar’).

Khawarij kemudian berkembang dan mengemas diri menjadi kelompok yang mengatasnamakan Islam lengkap dengan teologi dan ajarannya sendiri. Corak paling kental dari Khawarij adalah mengafirkan (takfiri) kelompok selain mereka, menuduh akulturasi Islam dan nilai budaya serta kearifan lokal sebagai bidah (kesesatan), menuduh semua rezim selain rezimnya sebagai thoghut (berhala), serta anticinta kasih sekaligus menjunjung tinggi nilai-nilai ekstremisme, kekerasan, dan pemaksaan dalam berislam dan berdakwah.

Corak keberislaman ala Khawarij inilah yang masih sering diadopsi dan dipraktikkan—entah secara sadar atau tidak sadar—oleh sebagian umat yang mengatasnamakan bagian dari Islam. Mereka yang bercorak Islam neo-Khawarij inilah yang menjadi ladang untuk diindoktrinasi atau direkrut menjadi teroris atas nama agama, baik untuk kepentingan terorisme di
luar negeri maupun di dalam negeri.

Corak keberislaman Khawarij ini, misalnya, yang ditunjukkan oleh mereka yang menyerang dan mengusir Syiah di Sampang dari kampung halamannya beberapa tahun lalu, atau mereka yang terus merongrong umat beragama lain dan rumah ibadahnya. Kedua kasus itu bahkan sudah bisa disebut sebagai miniatur NI karena menampakkan sikap persis seperti yang dilakukan NI di Irak, yakni meminta yang berbeda (mazhab maupun agama) agar bertobat dan masuk Islam, bersedia diusir, atau mau membayar jizyah (pajak atas jalan beda yang dipilihnya).

Akhirnya, sebagai upaya pemutusan jaringan dan pembendungan agar negeri ini tidak lagi disusupi fenomena NI dan sejenisnya, kita harus bersama melakukan deradikalisasi dalam berislam, khususnya menentang paradigma neo-Khawarij. Upaya ini harus dilakukan sejak dini dan berbasis pada gejala (bukan sampai menjadi gerakan).

Selain itu, kita juga harus melakukan upaya mengembalikan keberislaman seluruh komponen umat Islam Indonesia pada Islam khas Indonesia yang telah ditanamkan sejak awal oleh Wali Songo dan para pendakwah awal Islam di Indonesia, yakni Islam yang rahmat (damai, toleran, dan plural), demokratis, serta berakulturasi dengan nilai-nilai kearifan dan budaya kita.

Husein Ja’far Al Hadar Pendiri Cultural IslamicAcademy Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com