JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Pansus Tata Tertib (Tatib) DPR Fahri Hamzah mengatakan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Dewan Perwakilan Daerah tidak mempunyai legal standing untuk menolak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Menurut dia, PDI-P dianggap mengikuti pembahasan tentang UU MD3 dari awal, sedangkan DPD tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan judicial review (uji materi).
"Jadi, PDI-P dan DPD kehilangan legal standing sebetulnya," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/8/2014).
Fahri mengatakan, PDI-P terlibat dalam proses pembahasan UU MD3. PDI-P, kata dia, hanya berbeda pendapat terkait penentuan pimpinan DPR.
"Enggak ada yang beda pendapat soal UU ini kok. Semua partai sepakat kok, jadi hilang legal standing-nya gitu loh," ujar Fahri.
Sementara itu, Fahri menganggap DPD tidak memiliki legal standing untuk menolak UU MD3 karena DPD hanya bisa mengajukan judicial review terkait konflik kelembagaan saja.
"Sekarang konfliknya di mana? Kami menyalin semua yang merupakan keputusan MK tentang kewenangan DPD itu," kata Fahri.
Fahri memprediksi Mahkamah Konstitusi akan menolak gugatan terhadap UU MD3 tersebut karena undang-undang tersebut kuat. Pihak dari PDI-P, kata dia, bahkan sempat ingin menjadi ketua pansus. Hal itu menunjukkan bahwa tidak ada yang salah terkait undang-undang tersebut.
"Kita mengasumsikan undang-undangnya kuat. Orang PDI-P ikut kok di dalam pansus, bahkan PDI-P ingin jadi ketua kemarin. Artinya, PDI-P percaya juga bahwa undang-undang ini enggak ada yang salah," ucap Fahri.
Sebelumnya, Tim Advokat PDI Perjuangan mengajukan gugatan atas Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) ke Mahkamah Konstitusi, Kamis (24/7/2014). Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia DPP PDI-P Trimedya Panjaitan mengatakan, pengesahan undang-undang itu terkesan dipaksakan.
"UU MD3 sudah disahkan DPR, 8 Juli lalu, sehari sebelum pilpres. Kita menganggap, dari prosesnya, itu terkesan dipaksakan," ujar Trimedya di Gedung MK, Jakarta, Kamis siang.
Ketua Badan Kehormatan DPR RI itu mengatakan, PDI-P merasa terzalimi dengan Pasal 84 ayat (1) UU MD3 yang menyatakan bahwa pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. Pada undang-undang sebelumnya, yakni Pasal 82 UU Nomor 27 Tahun 2009, pimpinan DPR berasal dari partai pemenang pemilu. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga mengajukan uji materi atas perubahan UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi. UU tersebut dinilai menyalahi ketentuan yang diatur di dalam UUD 1945 dan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012.
"Padahal, putusan MK menyebutkan bahwa DPD mulai bisa ikut mengusulkan undang-undang dan ikut dalam pembahasan daftar inventaris masalah," kata anggota DPD, I Wayan Sidarta, saat memberikan keterangan di MK, Jumat (15/8/2014).
Wayan pun mengaku tidak puas dengan keberadaan perubahan UU tersebut. Pasalnya, keputusan MK yang menjadi salah satu pertimbangan di dalam perubahan UU itu tidak dimasukkan secara utuh.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.