Ketua Baleg DPR Ignatius Mulyono mengungkapkan, 42 RUU itu adalah RUU yang sudah mencapai tingkat pembahasan tingkat I yakni pembahasan DPR dan pemerintah. Di luar RUU yang masuk dalam pembahasan tingkat I, masih banyak lagi RUU yang bahkan belum disusun sama sekali.
Pada sidang paripurna, Selasa (26/8/2014), DPR bahkan baru menetapkan RUU Radio dan Televisi Republik Indonesia (RTRI) yang awalnya baru usul Komisi I menjadi RUU inisiatif DPR.
"Sebanyak 42 RUU ini terancam akan gugur karena DPR tidak mengenal sistem carry over atau luncuran RUU. Sehingga kalau DPR baru mau meneruskan pembahasan, akan memulai lagi dari awal Ini baru sebuah konvensi ketatanegaraan," ujar Mulyono, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (26/8/2014).
Catatan terbesar DPR kali ini adalah di bidang legislasi. Mulyono mengakui, target penyelesaian undang-undang yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) yang ditetapkan setiap pembukaan masa sidang selalu meleset. Tak pernah sekali pun DPR mampu mencapai target penyelesaian undang-undang yang ada dalam prolegnas.
Pemborosan
Untuk membuat undang-undang, tak hanya membutuhkan waktu, tetapi juga biaya. Biaya ini dipergunakan untuk mengundang pakar untuk dimintai pandangan atas suatu persoalan, biaya rapat, biaya konsinyering (biasanya dilakukan di luar gedung DPR), biaya kunjungan kerja ke daerah dalam tahapan penyusunan maupun dalam tahap sosialisasi, serta biaya studi banding ke luar negeri.
Mulyono memperkirakan, satu produk undang-undang bisa menghabiskan kas negara sebesar Rp 4-7 miliar.
"Ratusan juta saja tidak cukup. Untuk yang hanya kunker ke daerah biasanya habis Rp 4 miliar, kalau yang pakai studi banding ke luar negeri habis Rp 7 miliar," ucap Mulyono.
Apabila 42 RUU yang belum rampung itu dipastikan tak selesai hingga akhir periode, maka setidaknya negara akan mengalami kerugian minimal Rp 168 miliar. Itu pun jika dihitung semua RUU tidak memakai anggaran studi banding ke luar negeri.
Catatan Kompas.com, setidaknya ada sejumlah pembahasan RUU yang memutuskan berangkat ke luar negeri. Salah satunya yang mendapat sorotan paling tajam adalah perjalanan anggota Komisi III DPR ke Belanda, Inggris, Rusia, dan Perancis terkait pembahasan RUU KUHP/KUHAP. Selain itu, ada pula perjalanan anggota Baleg ke Denmark dan Turki untuk membahas RUU Kepalangmerahan. Sementara pembahasan RUU Pemerintah Daerah juga disertai studi banding ke Jerman dan Jepang. Toh, hasilnya semua RUU itu mandek hingga saat ini.
Rangkap jabatan
Menurutu Mulyono, lamanya sebuah RUU dibahas di parlemen karena banyaknya anggota Dewan yang mengemban tugas rangkap. Dia menyebutkan, seorang anggota bisa bertugas di tiga tempat seperti di komisi, alat kelengkapan, hingga fraksi di MPR. Padahal, setiap komisi dan alat kelengkapan memiliki kegiatan dan target masing-masing.
"Jadi kalau rapat, bapak ini tidak hadir, padahal dia mewakili fraksi X, karena dia lagi tugas di MPR atau lagi rapat komisi dan lain-lain. Ini yang menurut saya tidak efektif," kata Mulyono, yang merupakan anggota dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Jumlah anggota dewan yang rangkap jabatan ini, lanjut Mulyono, tidak sampai setengah dari total 560 anggota dewan.
"Saat ini lebih dari setengahnya lebih banyak hanya memiliki satu tugas di komisi saja. Jadi ini tidak imbang," imbuh dia.