"Sekarang ini tidak bisa lagi melakukan advokasi pada masyarakat seperti yang dilakukan sebagian NGO (non-governmental organization) dengan tujuan menyadarkan hak-hak warga. Sekarang waktu sudah berubah," kata Aktivis kemanusiaan yang juga inovator sosial, Masril Koto, Minggu (24/8/2014) malam.
Bertempat di kantor Purusha Research Cooperatives, di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Masril dalam dikusi ini berpendapat solidaritas penting untuk digalang kembali. "Karena model-model penyadaran warga seperti dilakukan sebagian NGO di masa lalu relatif tidak tepat lagi," ujar lelaki yang juga adalah pendobrak kebekuan fungsi intermediasi perbankan lewat inisiasi ratusan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) itu.
Masril menegaskan pendekatan masa lalu tak lagi cocok. Menurut dia, saat ini justru yang penting ialah dengan melakukan advokasi guna pemberdayaan ekonomi.
Gagasan politik
Salah seorang peserta diskusi lainnya, Hizkia Yosie Polimpung, melontarkan pentingnya mempertanyakan kembali gagasan tentang politik. "Apa itu politik? Apa sih yang politis dari politik?" tanya peneliti dan dosen ini.
Yosie yang juga menulis buku Asal Usul Kedaulatan; Telusur Psikogenealogis Atas Hasrat Mikrofasis Bernegara (2014) tersebut juga mempertanyakan tentang hak pilih. Menurut dia, belum tentu warga yang menunaikan hak pilih identik dengan lelaku politis dan demikian pula golput yang tidak sama dengan perilaku apolitis.
Atau dalam bagian selanjutnya, kata Yosie, tidak selamanya hiruk-pikuk tentang dunia pop kontemporer yang hidup di tengah masyarakat dan diunggah di media sosial menjadi cerminan sikap apolitis. "Bahkan bisa jadi sebaliknya", ujar Yosie.
Mengutip filsuf Slavoj Žižek, Yosie mengatakan pada era yang disebut-sebut sebagai masa berakhirnya ideologi bisa jadi pembedaan antara yang ideologis dan tidak ideologis menjadi cenderung tak bisa dilakukan.
Adapun peserta diskusi lain, Aditya Fernando, lebih menyoroti tentang peran bahasa dalam mengkonstruksikan kedaulatan yang juga berkelindanan dengan kekuasan. Pilihan nama tempat, menjadi contoh yang dia sodorkan.
Aditya mengambil contoh frasa "Jakarta Pusat" sebagai nama tempat yang mungkin bukan kebetulan menjadi tempat kedaulatan berpusat. Karena itulah, dalam penyebutan-penyebutan selanjutnya, Aditya mencoba menawarkan gagasan untuk menggunakan frasa "Jakarta Tengah."
Sementara itu, peserta lain, Yogi Ishabib, memberikan tanggapan soal peran media dan kemana fokus mesti dialihkan. Ini, kata dia, alih-alih tentang meleburnya batasan antara konsumen dan produsen media di era informasi yang meniscayakan keberdayaan warga lewat media sosial.
Komunitas Atap Gedung
Diskusi yang telah memasuki edisi ke-3 itu diinisiasi sejumlah pegiat komunitas Atap Gedung. Sebelumnya, diskusi itu dilangsungkan pada Sabtu (21/6/2014) dan Minggu (20/7/2014).
Garis hubung yang menjadi tema besar diskusi bertajuk Curhat Politik itu ialah dengan mengupayakan studi dan kajian mendalam perihal posisi, kedaulatan, dan hak serta kewajiban warga dalam kehidupan bernegara.
Warga yang dimaksudkan di sni merupakan entitas keseluruhan warga negara, termasuk yang memilih golput dan sebagian warga yang selama ini dipersepsikan sebagai kelompok apolitis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.