JAKARTA, KOMPAS.com — Kuasa hukum presiden terpilih Joko Widodo, Teguh Samudera, mengatakan, penerbitan tabloid Obor Rakyat merupakan kejahatan demokrasi. Ia menilai pemberitaan dalam tabloid itu membuat masyarakat bimbang.
"Obor (Rakyat) itu bukan kejahatan yang biasa. Ahli berpendapat, itu kejahatan demokrasi," ujar Teguh di Badan Reserse Kriminal Polri, Kamis (7/8/2014).
Teguh menyebutkan, saat ini di Indonesia belum ada rujukan undang-undang yang mengatur soal produk-produk pers yang dianggap sebagai kejahatan demokrasi. Menurut dia, hal tersebut perlu dipertimbangkan agar ada ancaman hukuman yang lebih berat.
"Hal ini mengganggu hak-hak demokrasi masyarakat. Karena Jokowi dianggap begitu, masyarakat jadi bimbang dan ragu," kata Teguh.
Tim hukum Jokowi berencana mengajukan ahli pers dan demokrasi untuk melengkapi laporannya ke Bareskrim Polri. Selanjutnya, ia mempersilakan penyidik Polri mengembangkan kasus tersebut.
Dalam kasus ini, Polri masih menunggu kesiapan Jokowi untuk dipanggil dan dimintai keterangan sebagai korban atas penerbitan Obor Rakyat. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Ronny Sompie mengatakan, kedatangan Jokowi akan melengkapi berita acara pemeriksaan (BAP) kasus tersebut agar perkara tersebut dapat dibawa ke pengadilan.
Polisi telah menetapkan dua tersangka dalam kasus tersebut, yakni Pemimpin Redaksi Obor Rakyat Setyardi Budiono dan penulis di tabloid tersebut, Darmawan Sepriyossa. Keduanya disangka melanggar Pasal 18 ayat 3 jo Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 9 ayat 2 UU 40/1999 menyatakan, setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum. Sementara itu, Pasal 18 ayat 3 menyatakan, pelanggaran terhadap Pasal 9 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Tersangka juga dijerat empat pasal KUHP, yakni Pasal 310, 311, 156, dan 157. Pasal 310 terkait pencemaran nama baik dengan ancaman pidana penjara maksimal satu tahun empat bulan. Pasal 311 ialah tentang penyebaran fitnah dengan pidana penjara maksimal empat tahun. Adapun Pasal 156 ialah tentang menyebarkan kebencian dengan ancaman pidana penjara maksimal empat tahun, sementara Pasal 157 tentang menyiarkan gambar atau tulisan dengan kebencian terancam pidana penjara maksimal dua tahun enam bulan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.