Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjadi Poros Maritim Dunia

Kompas.com - 31/07/2014, 04:39 WIB

”Usahakan agar kita menjadi bangsa pelaut kembali, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya, bukan sekadar jongos di kapal, tetapi mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang.” (Soekarno, 1953)

KOMPAS.com - Pidato tersebut disampaikan Presiden Soekarno saat meresmikan Institut Angkatan Laut tahun 1953 yang menjadi cikal bakal Akademi Angkatan Laut (AAL). Indonesia memang telah lama tidak berorientasi laut atau tidak bisa menjadi nakhoda di lautnya sendiri.

Padahal, Sriwijaya, Majapahit, dan beberapa kerajaan kecil yang tersebar di seluruh Nusantara telah membangun kekuatan politik dan ekonomi berbasis kerajaan maritim. Namun, kini kita melihat laut dengan ketakutan, lupa bahwa kita adalah bangsa maritim yang hebat.

Tinggalkan laut

Sejak lama, Indonesia dikenal kekayaan alamnya sekaligus sebagai wilayah strategis pelayaran dan perdagangan dunia. Pengaruh kebudayaan India terhadap kerajaan-kerajaan awal, seperti Kutai di Kalimantan dan Tarumanagara di Jawa, menjadi bukti bahwa Indonesia telah terlibat dalam pelayaran dan perdagangan internasional secara aktif.

Perkembangan aktivitas ini memunculkan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Demak, dan Banten yang mengusung konsep negara maritim (city-state).

Pada perkembangannya, masuknya kekuatan Eropa mulai abad ke-16 pada sistem pelayaran pribumi—perdagangan antara pedagang-pedagang Asia Tenggara dan pedagang dari India, Arab dan Tiongkok—sangat memengaruhi sistem pelayaran di Indonesia, terlebih ketika kekuatan Eropa tersebut memonopoli perdagangan.

Pada masa itu, Portugis dapat menguasai Malaka (1511), Spanyol menguasai Filipina (1571), dan Belanda lewat kongsi dagangnya, VOC, menguasai Batavia (1619). Terjadilah perubahan geopolitik, laut Indonesia pun menjadi pemisah, bukan lagi pemersatu.

Laut semakin ditinggalkan begitu VOC menancapkan pengaruhnya pada Kerajaan Mataram Jawa. Keterlibatan VOC dalam suksesi kepemimpinan di Jawa memosisikan VOC sebagai raja baru yang menguasai ekonomi di Jawa, terutama yang berbasis di Laut Jawa.

Hal ini mempersempit aktivitas pelaut-pelaut pribumi yang diperparah oleh kebijakan Raja Mataram Amangkurat I (1647-1677). Amangkurat menghancurkan daerah-daerah pesisir yang menjadi pusat perdagangan yang lepas dari kendalinya dan melarang rakyatnya berdagang ke seberang lautan. Tahun 1655, ia menutup semua pelabuhan dan memerintahkan pasukannya menghancurkan seluruh kapal Jawa (Anthony Reid, 2004: 105).

Sebaliknya, VOC membangun kantor perdagangan di pesisir dan pedalaman Mataram, mendorong Mataram menjadi kerajaan yang sepenuhnya agraris. Pada masa Amangkurat III, VOC mendapatkan semua bandar laut yang sebelumnya milik Mataram (Tjiptoatmodjo, 1983: 190-191).

Penguasaan wilayah pantura menjadi kemenangan luar biasa bagi Kerajaan Belanda dalam konstelasi ekonomi dan politik global, terutama menghadapi Inggris dan Spanyol.

Dari pantura, pemerintah Hindia Belanda semakin menancapkan hegemoni politiknya di wilayah-wilayah selain Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Peraturan-peraturan kemudian dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang tercatat baik dalam verslag (laporan-laporan kolonial) ataupun staatsblad (lembaran negara) yang semakin melegitimasi eksploitasi Nusantara.

Ubah paradigma

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Nasional
Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Prabowo Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Prabowo Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com