JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum, Selasa (22/7), menetapkan hasil penghitungan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014. Pasangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla ditetapkan sebagai presiden/wapres terpilih periode 2014-2019.

Ucapan selamat dari sejumlah tokoh dan lembaga, dari dalam dan luar negeri, sudah mereka terima. Jika tidak ada aral melintang, Jokowi-JK akan dilantik sebagai kepala negara/kepala pemerintahan di negeri ini pada 20 Oktober mendatang.

Namun, sebagai calon yang bersaing dalam pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) lalu, pasangan Prabowo Subianto-M Hatta Rajasa masih mempunyai peluang untuk mempersoalkan keputusan KPU. Setidaknya sampai besok, Jumat, 25 Juli 2014, pasangan calon presiden/cawapres yang diusung tujuh partai politik itu bisa mengajukan upaya hukum, gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Peluang pasangan calon itu diatur dalam Pasal 201 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden/Wapres yang menyatakan, ”Terhadap penetapan hasil pemilu presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan keberatan hanya oleh Pasangan Calon kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden oleh KPU”. Namun, tidak sembarang keberatan bisa diajukan ke MK.

Ayat (2) Pasal 201 menegaskan, keberatan yang bisa diajukan hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada pilpres. 

Artinya, pasangan calon yang mengajukan keberatan bisa melalui tim penasihat hukumnya, harus memilih dan memilah daerah atau tempat pemungutan suara (TPS) yang akan dipermasalahkan sesuai rekapitulasi perhitungan suara oleh KPU, yang dinilainya bermasalah dan bisa memengaruhi perolehan suara calon.

Selisih cukup jauh

Sesuai hasil rekapitulasi perhitungan suara KPU, pasangan Prabowo-Hatta meraih 62.576.444 suara (46,85 persen) dan Joko Widodo-M Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) mendapatkan 70.997.833 suara (53,14 persen). Ada selisih 8.421.389 suara. Tentu tak mudah untuk menemukan dugaan kecurangan dengan selisih 6,3 persen perolehan suara itu. 

Tim penasihat hukum pasangan Prabowo-Hatta harus memiliki data dan membuktikan kecurangan yang membuat pasangan itu kehilangan lebih dari 4,21 juta suara, dan sebaliknya suara dari pasangan Jokowi-JK menggelembung lebih dari 4,21 juta suara.

Yunus Yosfiah, Ketua Tim Perjuangan Koalisi Merah Putih untuk Keadilan sebagai pengganti Tim Pemenangan Pasangan Prabowo-Hatta, di berbagai media menyebutkan, ada peretas dari Tiongkok dan Korea (Selatan) yang menggelembungkan sekitar 4 juta suara dan 14 kabupaten/kota di Papua yang tak menggelar pemungutan suara, tetapi suaranya dihitung. 

Prabowo menyebut pula KPU tidak adil, tak terbuka, dan tidak profesional. KPU menjadi bagian dari sumber masalah. Kecurangan terjadi secara masif, terstruktur, dan sistematis.

Sebelum masuk ke MK, keterangan Yunus sudah dibantah Korea Selatan, yang mengirimkan utusannya untuk menemui tim itu. Dalam soal dugaan kecurangan, termasuk penggelembungan suara, keberatan Tim Perjuangan Koalisi Merah Putih untuk Keadilan akan berhadapan dengan data dari KPU, yang memperlihatkan saksi dari pasangan Prabowo-Hatta menandatangani perhitungan suara di tingkat TPS, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi. 

Di tingkat pusat, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menerima rekapitulasi perhitungan suara Pilpres 2014 pula.

Tidak bulat

Jika pada Jumat besok pasangan Prabowo-Hatta memasukkan permohonan ke MK, lembaga pengadil dalam sengketa pemilu itu tak bisa menolak. Pernyataan menarik diri dari Pilpres 2014, yang disampaikan Prabowo, Selasa lalu, tak memiliki implikasi hukum apa pun. Menarik diri bukan berarti mundur dari kontestasi pilpres, apalagi tidak disertai pernyataan tertulis yang diserahkan kepada KPU.