JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR RI Martin Hutabarat mengatakan keputusan yang diambil untuk mensahkan perubahan atas Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) bukanlah keputusan yang dipaksakan.
"Kita sudah bicarakan itu lama. Saya saja di Badan Legislasi sudah dua tahun membicarakan itu. Kalau bukan hari itu, kapan lagi? Besoknya pemilu, setelah itu reses," ujar Martin saat dijumpai di komplek parlemen Senayan, Jakarta, Senin (14/7/2014).
Terkait sejumlah kontroversi yang muncul setelah pengesahan UU tersebut, Martin mengatakan, itu sudah keputusan mayoritas dan tidak ada pihak yang bisa memaksakan kehendaknya masing-masing. Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra ini mengatakan, partainya semula tak setuju dengan dibubarkannya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN).
"Sebenarnya Gerindra tak setuju tapi kami juga tidak bisa paksakan kehendak. BAKN itu kan kami ketuanya. Tapi karena mayoritas menginginkan itu kami bisa apa," jelasnya.
Terkait kontroversi proses penyidikan anggota DPR yang harus melalui Majelis Kehormatan Dewan, Martin membantah aturan tersebut dibuat untuk agar anggota DPR kebal hukum. Ia menganalogikan profesi wakil rakyat dengan profesi lain seperti dokter dan notaris yang memiliki dewan etik untuk menyelesaikan permasalahan anggotanya selama tidak tersangkut pidana khusus atau pidana dengan ancaman hukuman yang berat.
"Dokter saja ada majelis etiknya, masa DPR tidak ada. Dan izin itu berlaku untuk selain pidana khusus. Kalau korupsi atau pidana khusus lainnya kan tidak berlaku," jelasnya.
Dalam pembentukan Majelis Kehormatan Dewan, jelas Martin, diberikan porsi yang sesuai dengan jumlah fraksi yang ada.
"Ini kemajuan karena kalau dulu partai kecil tidak boleh jadi anggota Badan Kehormatan. Sementara di majelis ini ada 17 anggota. Partai kecil pun bisa terlibat. Untuk masalah yang berat pun akan ditambah dengan empat anggota dari luar agar independen," pungkasnya.
UU MD3 disahkan Selasa (8/7/2014) atau sehari menjelang pemilihan presiden. Tiga dari enam fraksi yakni PDI-P, PKB dan Hanura menolak disahkannya UU tersebut karena dinilai dipaksakan. Sementara enam fraksi lain yang setuju yakni Fraksi Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKS dan Gerindra.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.