KOMPAS.com -
PEREBUTAN RI-1 semakin menarik ketika masing-masing kubu—baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo—berhasil menarik gerbong yang memiliki hubungan dengan kiai dan pesantren. Tidak bisa ditampik bahwa restu kiai memiliki nilai dan diduga kuat bisa menjadi penarik massa pemilih.

Hadirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di kubu Jokowi-Jusuf Kalla merepresentasikan perwakilan ”partai kiai” karena secara historis dan ideologis partai ini lahir dari rahim pemikiran para kiai.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sang pendiri partai, merupakan contoh nyata bahwa partai ini memiliki hubungan historis kental dengan dunia kiai meskipun, pada akhirnya, terjadi pecah kongsi antara kubu Muhaimin Iskandar dan Gus Dur. Namun, aroma tersebut masih melekat kuat.

Kubu Prabowo-Hatta Rajasa didukung lebih banyak partai Islam. Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera merupakan lumbung yang signifikan jika bisa digarap dengan lebih elegan. Di atas kertas, dukungan partai Islam memang signifikan. Namun, waktu kampanye, debat calon presiden (capres), dan berbagai faktor lainnya bisa berperan mengubah konstelasi suara.

”Sowan” kiai

Tidak mengherankan bila dalam safari kampanye para kandidat selalu ada acara kunjungan ke kediaman kiai-kiai. Sebelum Jokowi sowan (berkunjung) ke rumah Kiai Maimun Zubair, Prabowo sudah lebih dulu ke sana. Mereka juga segera bergantian mengunjungi kediaman KH Mustofa Bisri di Rembang, Jawa Tengah.

Apa makna simbolik dari kunjungan tersebut? Kita tahu bahwa kiai di dunia pesantren memiliki tempat yang khusus. Kebijakannya sering diperhitungkan oleh santri-santri, baik yang masih berstatus sebagai santri maupun alumni. Seorang santri yang sudah tidak lagi tinggal di pesantren masih merasa memiliki hubungan spiritual dan kultural dengan tradisi pesantren, termasuk di dalamnya segala pernik kebijakan yang ditelurkan oleh sang kiai.

Mendekatkan diri dengan kiai berarti secara tidak langsung sang capres sedang memberikan pesan kepada calon para pemilih. Bahwa sang calon telah sowan kepada sang kiai. Dalam tataran yang lebih ekstrem bisa memunculkan wacana ”capres” tertentu mendapat restu dari kiai tersebut. Itulah kesan yang coba dibangun terhadap kesadaran calon pemilih dari kalangan santri.

Bisakah logika tersebut diterapkan di tengah dinamika politik dewasa ini? Dalam bukunya, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (2004), Dr Endang Turmudi menegaskan bahwa meskipun posisi kiai masih diperhitungkan, peran kiai dalam politik tidak begitu nyata.

Dalam artian, kecenderungan seorang kiai dalam satu politik tertentu tidak lantas linear dengan keputusan pemilih meskipun para pemilih tersebut menjadikan kiai yang bersangkutan sebagai panutan dalam kehidupan keseharian.

Alkisah, sebagaimana dituturkan Turmudi (2004: 246-258), pada Pemilu 1992 seorang responden tidak sepakat dengan kecenderungan politik yang diambil oleh seorang kiai di Jombang. Karena tidak puas dengan anjuran yang diberikan ”kiai lokal” tersebut, ia lantas meminta petunjuk kepada kiai yang lebih senior. Maka, ia berkunjung ke rumah sang kiai yang berdomisili di Magelang, Jawa Tengah. Ternyata, ia mendapat jawaban yang sesuai dengan pendapatnya di sana. Responden puas dan sepakat dengan kiai tersebut. Alhasil, dia memutuskan pilihan berdasarkan pilihan atas petuah yang didapatkan dari kiai di Magelang.

Pilihan pribadi

Artinya bahwa meski seseorang menjadikan sosok kiai sebagai panutan terutama terkait doktrin keagamaan, sejatinya dalam ranah yang lebih luas setiap orang bisa menentukan sikap tentang pilihan politiknya. Apalagi pada zaman informasi ini pemilih tidak berada dalam ruang kosong yang hampa.

Maka, kunjungan politik sejumlah politikus ke rumah kiai-kiai sebenarnya lebih merupakan silaturahim politik. Suatu hal yang juga dilakukan dengan mengunjungi sesama elite politikus lain.

Hanya saja, jika kunjungan yang dilakukan sesama politikus memperlihatkan sejauh mana langkah-langkah politik yang telah dilalui, kunjungan ke kiai memiliki pesan implisit dan lebih bernuansa kultural. Yang pertama menjadikan instrumen politik yang bisa dihitung secara matematis, baik perolehan dukungan dalam bentuk materiil, moral, maupun sumber daya manusia. Yang kedua lebih menukik ke alam bawah sadar kita tentang potensi suara yang mungkin diraup.

Politik restu kiai semakin seru karena masing-masing kubu menampilkan ikon dari kalangan Nahdlatul Ulama. Ada nama Khofifah Indar Parawansa dan Mahfudz MD. Politik restu kiai, saya kira akan terus mengecambah seiring makin dekatnya saat pemilihan presiden. Kita tinggal menunggu, kubu mana yang bisa memanfaatkan ”restu kiai” secara lebih maksimal dan proporsional.

Ahmad Khotim Muzakka
Mahasiswa Magister pada Center for Religious and Cross-cultural Studies; Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta