JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto membantah dirinya memberikan transkrip rekaman pembicaraan petinggi PDI Perjuangan dan Jaksa Agung Basrief Arief kepada Ketua Progress 98 Faizal Assegaf. Menurut Bambang, dia tidak mengenal Faizal apalagi berhubungan atau meminta pihak lain untuk berhubungan dengan pria itu.
"Selama menjadi pimpinan KPK, selain tidak mengenalnya, juga tidak pernah memberi sesuatu atau apa pun kepada siapa pun, apalagi transkrip seperti yang difitnahkan," kata Bambang melalui pesan singkat yang diterima wartawan, Rabu (18/6/2014).
Menurut Bambang, isu mengenai adanya petinggi KPK yang membocorkan transkrip rekaman tersebut dimunculkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini juga dianggapnya sebagai upaya untuk menjatuhkan kredibilitas KPK dan menarik-narik penegakan hukum yang dilakukan KPK ke ranah politik. Bambang mengatakan, sistem di KPK tidak memungkinkan ada rekaman yang bisa beredar keluar, baik secara langsung maupun tidak langsung.
"Sistem pengamanannya ketat dan berlapis, ditujukan untuk proses penegakan hukum saja, atas kasus yang ditangani dan sedang dalam penyidikan dan penyelidikan KPK," ujar Bambang.
Sebelumnya, Faizal menulis di laman jejaring sosial Facebook-nya bahwa dia telah menerima bocoran transkrip rekaman pembicaraan antara Jaksa Agung dan petinggi PDI-P. Isi rekaman itu memuat percakapan yang meminta agar kejaksaan tidak menyeret Jokowi sebagai tersangka kasus korupsi bus transjakarta senilai Rp 1,5 triliun.
Faizal mengaku dapat transkrip rekaman itu dari seorang utusan salah satu petinggi KPK pada 6 Juni 2014. Belakangan dia menyebut nama Bambang Widjojanto. Pada Rabu pagi ini, Faizal mendatangi Kejaksaan Agung untuk mengklarifikasi rekaman yang didapatnya itu (baca: Klarifikasi Rekaman Bocor Petinggi PDI-P, Progress 98 Datangi Kejagung).
Faizal juga pernah melaporkan Jokowi ke KPK pada awal Mei 2014. Ketika itu dia menilai Jokowi menerima gratifikasi karena menggalang sumbangan dari masyarakat untuk biaya pencalonan diri sebagai presiden. KPK menyatakan bahwa sumbangan dana yang diterima Jokowi dari masyarakat tersebut bukan termasuk gratifikasi. Menurut Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono, seorang capres atau cawapres boleh menerima sumbangan dari masyarakat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.