Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Obor Rakyat" dan Residu Demokrasi

Kompas.com - 17/06/2014, 15:27 WIB


Oleh: Agus sudibyo

DARI beberapa sisi, tabloid Obor Rakyat yang menghebohkan masyarakat belakangan ini karena kampanye negatifnya yang intensif terhadap calon presiden Joko Widodo jelas tidak dapat diidentifikasi sebagai pers, apalagi pers yang profesional.

Tabloid yang belakangan gemar mengangkat isu SARA itu terbit tanpa badan hukum yang jelas. Padahal, UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 menegaskan, setiap penerbitan pers harus berbadan hukum Indonesia.

Sebagaimana telah disoroti Dewan Pers, susunan redaksi dan alamat penerbitan  Obor Rakyat juga tidak cukup jelas. Demi pertanggungjawaban kepada publik dan obyek pemberitaan, perusahaan pers harus mencantumkan penanggung jawab, struktur, dan alamat redaksi. Yang tak kalah penting adalah sisi profesionalisme jurnalistik. Boleh saja  Obor Rakyat mengungkit kejelekan-kejelekan capres Jokowi. Masyarakat butuh informasi tentang capres selengkap-lengkapnya, termasuk sisi negatifnya.

Namun, pengungkapan sisi negatif capres harus benar-benar memenuhi prinsip verifikasi: didasarkan pada informasi yang valid, ada proses check and recheck, memberikan kesempatan klarifikasi sebelum berita dipublikasikan, memenuhi asas praduga tak bersalah, dan menggunakan bentuk pengungkapan yang tidak tendensius atau menghakimi.

Syarat-syarat ini kelihatan sekali tidak dipenuhi Obor Rakyat. Masalah berikutnya, jelas sekali hanya capres Jokowi yang menjadi "obyek serangan" Obor Rakyat. Andai saja  Obor Rakyat juga bersikap yang sama terhadap capres Prabowo Subianto akan lain ceritanya. Pers profesional akan selalu bersikap secara kritis sekaligus proporsional terhadap semua pihak. Hal yang tak kalah penting, menyudutkan capres dengan isu SARA sungguh tidak kondusif bagi pendidikan politik dan pendidikan kewarganegaraan. Bangsa Indonesia sedang dalam proses memilih pemimpin terbaik, ibaratnya tanpa memperhatikan persoalan bibit, bebet, dan bobot.

Proses hukum

Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap media seperti Obor Rakyat? Media yang terbit tanpa badan hukum yang jelas dapat dipersoalkan secara hukum dengan merujuk pada UU Pers. Hal ini perlu dilakukan sebagai langkah pembelajaran bersama apa pun hasil akhirnya. Namun, dalam konteks Pilpres 2014 tentu tidak akan banyak dampaknya karena proses hukum perlu waktu yang panjang, sementara pilpres tinggal menghitung hari.

Obor Rakyat adalah residu dari demokrasi yang kita nikmati sejauh ini di Indonesia. Dalam iklim demokrasi, siapa pun boleh mendirikan media. Atas nama demokrasi, mekanisme SIUPP dan segala bentuk pembatasan terhadap pers harus dihapuskan dan tidak akan dihidupkan lagi hanya karena fenomena seperti Obor Rakyat. Namun, kebebasan mendirikan media itu tidak serta-merta dibarengi dengan kesadaran, tanggung jawab, serta moralitas yang kondusif bagi penciptaan ruang publik media yang demokratis dan mencerahkan. Beberapa pihak mendirikan media dan menggunakannya dengan semangat bermain-main, bereksperimen, ataupun dengan motif yang tidak berkaitan dengan imperatif mencerdaskan masyarakat seperti layaknya mendasari beroperasinya institusi pers yang profesional.

Dimensi residual dari demokrasi ini juga terlihat dalam fenomena media sosial yang hari-hari ini juga demikian kusut dengan praktik-praktik kampanye negatif. Potensi demokratis-deliberatif media sosial untuk sementara tertutupi oleh negativitas yang belum ditemukan cara mengatasinya: menjadi ajang mencerca, menelanjangi, dan membunuh karakter tanpa ada kesempatan memadai bagi korban untuk membela diri.

Demokrasi pada momen dan fase tertentu memang melahirkan para free rider yang acuh tak acuh. Demokrasi juga menghasilkan surplus kebebasan, tetapi defisit tanggung jawab. Mengutip tokoh pers Jakob Oetama, kebebasan pers kita baru pada tahap bebas dari belenggu tirani politik (freedom from) dan belum beranjak ke tahap mampu memanfaatkan kebebasan itu untuk sepenuhnya mencerdaskan masyarakat (freedom for).

Apa mau dikata, kita harus siap menghadapi situasi yang demikian ini sambil terus-menerus mencari jalan keluarnya dan tanpa berpikir untuk kembali ke masa lalu.

Namun, penulis yakin bahwa dalam perjalanan demokratisasi masyarakat juga semakin dewasa. Masyarakat semakin tidak mudah terpancing agitasi dan provokasi. Masyarakat juga sudah cukup kenyang dimanipulasi para pemimpin yang suka berkasak-kusuk dan hantam sana hantam sini untuk kepentingan diri sendiri. Masyarakat mempertimbangkan informasi dan stimulus dari berbagai penjuru.

Hasil pemilu legislatif bulan April lalu menunjukkan, kampanye intensif di media-media televisi sekalipun tidak cukup signifikan untuk menggiring pilihan politik masyarakat.

Media dan politik

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya 'Copy Paste', Harus Bisa Berinovasi

Kumpulkan 777 Komandan Satuan, KSAD: Jangan Hanya "Copy Paste", Harus Bisa Berinovasi

Nasional
Bertemu Pratikno, Ketua Komisi II DPR Sempat Bahas Penyempurnaan Sistem Politik

Bertemu Pratikno, Ketua Komisi II DPR Sempat Bahas Penyempurnaan Sistem Politik

Nasional
Waketum Nasdem Mengaku Dapat Respons Positif Prabowo soal Rencana Maju Pilkada Sulteng

Waketum Nasdem Mengaku Dapat Respons Positif Prabowo soal Rencana Maju Pilkada Sulteng

Nasional
Bertemu Komandan Jenderal Angkatan Darat AS, Panglima TNI Ingin Hindari Ketegangan Kawasan

Bertemu Komandan Jenderal Angkatan Darat AS, Panglima TNI Ingin Hindari Ketegangan Kawasan

Nasional
5.791 Personel Polri Dikerahkan Amankan World Water Forum Ke-10 di Bali

5.791 Personel Polri Dikerahkan Amankan World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Golkar Buka Suara soal Atalia Praratya Mundur dari Bursa Calon Walkot Bandung

Golkar Buka Suara soal Atalia Praratya Mundur dari Bursa Calon Walkot Bandung

Nasional
Komisi II DPR Ungkap Kemungkinan Kaji Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Komisi II DPR Ungkap Kemungkinan Kaji Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
PKB-Nasdem Merapat, Koalisi Prabowo Diprediksi Makin 'Gemoy'

PKB-Nasdem Merapat, Koalisi Prabowo Diprediksi Makin "Gemoy"

Nasional
Golkar Sedang Jajaki Nama Baru untuk Gantikan Ridwan Kamil di Pilkada DKI Jakarta

Golkar Sedang Jajaki Nama Baru untuk Gantikan Ridwan Kamil di Pilkada DKI Jakarta

Nasional
DPR Segera Panggil KPU untuk Evaluasi Pemilu, Termasuk Bahas Kasus Dugaan Asusila Hasyim Asy'ari

DPR Segera Panggil KPU untuk Evaluasi Pemilu, Termasuk Bahas Kasus Dugaan Asusila Hasyim Asy'ari

Nasional
Sinyal 'CLBK' PKB dengan Gerindra Kian Menguat Usai Nasdem Dukung Prabowo-Gibran

Sinyal "CLBK" PKB dengan Gerindra Kian Menguat Usai Nasdem Dukung Prabowo-Gibran

Nasional
Jadi Presiden Terpilih, Prabowo Tidak Mundur dari Menteri Pertahanan

Jadi Presiden Terpilih, Prabowo Tidak Mundur dari Menteri Pertahanan

Nasional
Polri: Hingga April 2024, 1.158 Tersangka Judi Online Berhasil Ditangkap

Polri: Hingga April 2024, 1.158 Tersangka Judi Online Berhasil Ditangkap

Nasional
Ganjar Bilang PDI-P Bakal Oposisi, Gerindra Tetap Ajak Semua Kekuatan

Ganjar Bilang PDI-P Bakal Oposisi, Gerindra Tetap Ajak Semua Kekuatan

Nasional
Nasdem Resmi Dukung Prabowo-Gibran, Elite PKS dan PKB Bertemu

Nasdem Resmi Dukung Prabowo-Gibran, Elite PKS dan PKB Bertemu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com