JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate Fadjroel Rachman mengatakan, politisasi yang dilakukan bintara pembina desa (Babinsa) dengan mengarahkan pilihan warga memilih capres tertentu seperti berkaca dengan rezim orde baru yang dipimpin oleh Presiden RI kedua Soeharto. Menurutnya, gerakan organisasi yang tersembunyi ini dapat bangkit tergantung pada siapa pemimpin bangsanya kelak.
"Karena masalah tidak selesai dengan tuntas, karakter itu muncul lagi, tergantung siapa presidennya," kata Fadjroel dalam diskusi di Menteng, Jakarta, Kamis (12/6/2014).
Fadjroel menyebutkan beberapa masalah yang diwarisi orde baru seperti penyalahgunaan fungsi Babinsa dan bisnis TNI masih belum selesai hingga kini. Fungsi Babinsa, menurutnya adalah menjalankan fungsi pertahanan, bukan keamanan.
"Kita mengatakan ini penyakit militarisme. Babinsa sudah disfungsional, dijadikan alat keamanan padahal fungsinya ketahanan," ujarnya.
Fadjroel mengimbau pemerintahan selanjutnya untuk merekonstruksi lembaga teritorial dan mengembalikan sesuai fungsinya. Menurutnya, TNI yang kini berada di bawah kekuasaan Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI seharusnya berada di bawah Kementerian Pertahanan dan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Tidak hanya membubarkan Babinsa di tingkat desa, menurut Fadjroel, badan ketahanan seperti Komando Rakyat Militer (Koramil) di tingkat kecamatan, Komando Distrik Militer (Kodim) di tingkat kabupaten, dan Komando Daerah Militer (Kodam) di tingkat provinsi juga harus dihapuskan.
"Lembaga teritorial seperti Kodim, Koramil, Babinsa, mesti ditiadakan karena fungsi keamanan sudah diambil alih Polisi," kata Fadjroel.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.