Direktur Komunikasi Change.org Arief Aziz menilai, secara garis besar, ada tiga kelompok yang ikut meramaikan dunia sosial media dari hiruk pikuk isu politik. Pertama, adalah peserta pemilu itu sendiri. Saat ini, cukup banyak parpol atau tokoh parpol yang turut berpartisipasi dalam media sosial. Tidak jarang juga, beberapa dari mereka yang aktif, baik untuk mempromosikan diri sendiri atau menyerang lawan politiknya.
Pelaku selanjutnya adalah mereka yang menjadi relawan dari masing-masing parpol atau tokoh parpol. Entah dibayar atau tidak, namun biasanya, para relawan ini bertindak jauh lebih aktif dibandingkan mereka yang merupakan peserta pemilu.
Sementara pelaku terakhir, adalah mereka yang merupakan pengguna media sosial biasa. Mereka juga biasanya mempunyai tokoh yang diidolakan atau dibenci, namun partisipasi mereka terjun dalam aksi serang-menyerang cendrung tidak begitu tinggi. Kelompok ini hanya mengonsumsi serangan-serangan politik yang dilancarkan dua kelompok sebelumnya.
Lalu, seberapa efektif serangan-serangan politik di media sosial ini bisa mempengaruhi pemilih?
Arief menilai, tren media sosial yang sedang menjamur sebenarnya akan efektif untuk menyebarkan berbagai hal, termasuk serangan-serangan politik. Namun, tingkat keefektifan akan sangat tergantung dengan serangan politik yang dilancarkan.
"Netizen bisa membedakan mana serangan yang benar dan yang salah, tidak sesuai fakta," kata Arief.
Arief menilai, serangan-serangan politik yang dilancarkan saat ini bukan lah sesuatu yang cerdas dan mendasarkan kepada fakta. Isu mengenai masalah pribadi, rasial, hingga fitnah dan berita bohong yang menjamur di internet, menurutnya, tidak akan mampu mempengaruhi para netizen yang sudah cerdas.
"Justru yang diserang seperti itu akan mendapat simpati dari penguna sosial media, dan simpati itu bisa beralih ke dukungan," ujarnya.
Daripada saling serang menyerang, Arief menyarankan agar para tokoh atau pendukung tokoh yang akan bertarung, menggunakan sosial media untuk menyampaikan visi misinya masing-masing.
"Selama ini kan, visi misi mereka di sosial media tidak banyak kedengaran, lebih sering serangannya," ujar dia.
Hal serupa disampaikan pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio. Hendri menilai, media sosial yang sedang nge-trend sekarang sangat efektif untuk menyuarakan berbagai isu, termasuk isu politik. Namun, menurutnya, keefektifan itu hanya akan berlaku bagi sebagian kecil penduduk Indonesia yang tinggal di kota-kota besar dengan akses internet yang memadai.
"Untuk memengaruhi sebagian besar masyarakat Indonesia, belum saatnya. Masih lebih banyak masyarakat Indonesia yang awam internet di kota kecil dan pedesaan. Kalau untuk Jakarta mungkin oke," kata Hendri.
Di pedesaan, ujar Hendri, media mainstream yakni televisi masih memegang peranan yang sangat penting dalam penyebaran arus informasi. Isu di media sosial, baru bisa benar-benar berpengaruh jika diangkat oleh media nasional, khususnya televisi.
"Dulu kasus Prita Mulya Sari dengan Rumah Sakti Omni Internasional ramai dulu di media sosial, tapi itu belum terangkat secara nasional. Setelah diangkat oleh stasiun TV baru kasus ini mencuat," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.