KOMPAS.com - BELUM berhasilnya pemerintahan setelah Reformasi 1998 untuk memberikan arah menuju perekonomian dengan fondasi yang kuat bukan karena pemerintah kurang bekerja. Sebaliknya, terlalu banyak hal yang ingin dilakukan, termasuk aneka kebijakan populis, tetapi minim fokus. Pekerjaan wajib yang semestinya selesai dalam 16 tahun pun malah terbengkalai.
Adam Smith menyebutkan beberapa pekerjaan yang menjadi tugas negara yang bisa jadi acuan bagi presiden terpilih nanti. Tidak banyak, yakni keamanan, menjaga keteraturan, membangun infrastruktur, dan menyelenggarakan pendidikan. Semua itu untuk membuat aktivitas ekonomi—dalam bentuk pertukaran barang dan jasa—berjalan tanpa hambatan dan lebih efisien.
Konteks Indonesia
Terlepas dari ideologi ekonomi yang dianut, anjuran Smith itu menemukan relevansinya dalam konteks Indonesia sekarang. Anjuran tersebut di satu sisi akan membantu presiden terpilih dalam memfokuskan agenda pembangunan ekonomi dan di sisi lain berdampak positif luas, termasuk bagi kelompok marjinal.
Kegagalan untuk menjamin keamanan, menjaga keteraturan, membangun infrastruktur, dan mempromosikan pendidikan akan menjebak Indonesia ke dalam sebuah lingkaran setan. Maka, alih-alih bergerak maju, Indonesia justru hanya jadi negara kelas medioker di bidang ekonomi.
Di tataran praktis, presiden harus mengutamakan pengawasan langsung pada aspek- aspek di atas, sementara kebijakan lainnya dapat lebih didelegasikan.
Realitasnya, peran negara ini tidak dijalankan dalam ruang hampa politik. Belajar dari pengalaman Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, terdapat beberapa tantangan yang lebih dahulu harus dihadapi untuk bisa menjalankan tugas pokok negara tersebut.
Pertama, mengatasi fragmentasi kebijakan sebagai implikasi pelaksanaan desentralisasi. Sinergi kebijakan antartingkat pemerintahan, sebagai contoh, wajib dipenuhi dalam pembangunan infrastruktur yang memungkinkan seluruh wilayah Indonesia terintegrasi secara ekonomi.
Fragmentasi kebijakan ini diperburuk oleh distribusi kekuatan politik yang relatif merata setelah reformasi. Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu 2009 dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 2014, misalnya, hanya mendapat sekitar 20 persen suara.
Hal ini menyebabkan biaya transaksi koordinasi kebijakan antartingkat pemerintahan jadi tinggi pada saat presiden dan kepala daerah berasal dari partai politik yang berbeda.
Tantangan kedua, belum kuatnya dukungan publik secara luas, terutama kelas menengah, dalam pengambilan kebijakan untuk mengimbangi kelompok kepentingan tertentu.
Sedikit banyak hal ini terkait dengan masih relatif rendahnya pendidikan dan pendapatan sebagian besar masyarakat yang berdampak pada kesulitan mengakses informasi dan menyampaikan aspirasi.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa penduduk berusia 15 tahun ke atas yang hanya berpendidikan sekolah dasar atau di bawahnya masih mencapai 47 persen pada 2012.
Tantangan ketiga yang harus dihadapi presiden mendatang adalah budaya percaloan yang kental dalam lembaga pemerintahan, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Usaha untuk menciptakan keteraturan, misalnya, pasti berbenturan dengan kepentingan para calo tersebut.