JAKARTA, KOMPAS.com — Inisiatif calon anggota legislatif dianggap sebagai salah satu penyebab maraknya praktik politik uang pada Pemilihan Umum 2014. Pasalnya, calon anggota legislatif-lah yang paling berkepentingan mendapatkan dukungan suara untuk memenangi pemilu.
Pendapat itu disampaikan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti, saat dihubungi, Selasa (15/4).
”Inisiatif pertama (untuk melakukan politik uang) memang dari caleg karena yang berkepentingan dipilih, kan, caleg,” tuturnya.
Caleg melakukan berbagai cara, termasuk politik uang, untuk mendapatkan suara lebih banyak daripada caleg lain dalam satu partai politik. Sebab, dalam sistem pemilihan proporsional dengan daftar terbuka, caleg bisa mendapatkan kursi jika suara yang diraih lebih banyak daripada caleg lain yang berasal dari parpol yang sama.
Kondisi itu juga membuka peluang bagi para pemilih untuk menjual suara kepada para caleg. Buktinya, tidak sedikit warga yang secara terbuka meminta uang kepada caleg. Bahkan, terang-terangan menunggu ”serangan fajar” dari para caleg.
Menurut Ramlan, caleg tidak akan berani membagi-bagikan uang jika ada penolakan dari masyarakat. ”Jadi, memang politik uang ini terjadi karena ada transaksi, caleg menawarkan dan rakyat juga meminta,” ujarnya.
Di sisi lain, honor petugas penyelenggara pemilu mulai dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), hingga Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) tidak berubah. Rendahnya honor itu ditengarai juga membuka peluang para petugas penyelenggara pemilu melakukan penyelewengan, seperti memanipulasi suara. Para caleg bisa menawarkan imbalan besar kepada petugas dengan kompensasi menggelembungkan suara caleg.
Hal senada disampaikan pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana.
Menurut dia, maraknya politik uang dalam pemilu dipicu oleh sistem pemilu proporsional terbuka. Dalam sistem itu, caleg yang mendapat suara terbanyaklah yang berhak masuk ke parlemen. Hal itu membuat persaingan antarcaleg sangat ketat, termasuk persaingan internal di dalam partai.
”Sistem ’tarung bebas’ ini membuat caleg cenderung melakukan segalanya untuk dapat suara,” ujar Ari.
Untuk meminimalkan hal itu, Ari mengusulkan, peranan caleg dalam kampanye dikurangi. Kampanye harus lebih dikoordinasi oleh partai politik sehingga persaingan tidak sehat antarcaleg bisa dikurangi.
Tidak ada sanksi
Sementara itu, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Nasdem Ferry Mursyidan Baldan justru menganggap ketidaktegasan penyelenggara pemilu sebagai penyebab maraknya praktik politik uang. Selama ini tidak ada sanksi tegas yang diberikan penyelenggara pemilu kepada pihak-pihak yang melakukan politik uang.
”Seharusnya penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu, bertindak tegas terhadap temuan politik uang di lapangan,” tuturnya.
Para caleg yang terbukti melakukan politik uang selama kampanye semestinya diberi sanksi pembatalan pencalonan. Begitu pula bagi caleg terpilih yang terbukti melakukan politik uang.