JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Boni Hargen, mengatakan, duet calon presiden dan calon wakil presiden antara Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sulit terwujud. Ada tiga alasan duet itu sulit terwujud.
"Saya melihat ada tiga hal mengapa jangan JK yang dipasangkan dengan Jokowi. Pertama, JK merupakan atau pernah menjadi bagian dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," ujar Boni Hargen di Jakarta, Senin (14/4/2014), seperti dikutip dari Antara.
Menurut Boni, ketika JK menjabat sebagai wakil presiden, PDI-P menjadi sasaran, dan kasus kadernya dibongkar semua.
"Apalagi, saat JK menjadi wapres, posisi PDI-P adalah oposisi. Jadi, motivasi JK ingin menjadi cawapres pendamping Jokowi dicurigai bertujuan mencari kekuasaan," ujar dia.
Kedua, ia mengatakan bahwa perusahaan JK, yang bernaung di bawah Kalla Group, menjadi bertambah besar ketika JK menjabat wapres dan Ketua Umum Partai Golkar pada masa lalu.
"Ketika nanti JK jadi wapres lagi, dikhawatirkan bisa lebih dominan dari presidennya," kata dia.
Ketiga, ia menegaskan bahwa JK masih resmi sebagai petinggi Partai Golkar. Keinginan JK menjadi cawapres, kata dia, bisa menjadi pintu masuk bagi Partai Golkar untuk kembali ke dalam kekuasaan.
"Saya kira Golkar perlu belajar dengan menjadi oposisi atau di luar pemerintahan," ujar dia.
Ia menambahkan, kalau PDI Perjuangan mempertimbangkan karakter Jokowi yang benar-benar tulus dalam orientasi kerja, maka sebaiknya tidak menjadikan JK sebagai cawapres pendamping Jokowi.
Sejumlah nama dikabarkan masuk nominasi menjadi cawapres pendamping Jokowi, antara lain Jusuf Kalla, Hatta Rajasa, Mahfud MD, dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok). Hanya, dari nama tersebut, JK yang paling banyak dibicarakan untuk berduet dengan Jokowi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.