JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yusuf meminta pemerintah menunda pencairan dana bantuan sosial di sejumlah kementerian. Pada masa pemilu seperti ini, menurutnya, dana tersebut berpeluang diselewengkan untuk kepentingan pemenangan pemilu oleh pihak-pihak tertentu.
"Jadi tidak perlu dicairkan apalagi saat-saat menjelang pemilu begini," kata Yusuf di Gedung PPATK, Jakarta, Selasa (25/3/2014).
Ia mengungkapkan, ada sejumlah alasan yang mendasari kekhawatiran terjadinya penyelewengan. Salah satunya adalah kasus penyalahgunaan dana bantuan sosial yang menjerat Wali Kota Bandung Dada Rosada.
"Yang Wali Kota Bandung itu temuan PPATK. Waktu itu ceritanya dana bansos diberikan kepada pihak penerima, ternyata dia itu pakai KTP palsu. Berkembang Rp 60 miliar jadinya," ujarnya.
Kasus yang menjerat Dada, kata Yusuf, terjadi karena tidak adanya parameter dan aturan yang jelas mengenai dana bansos. Ke depannya, dia meminta pemerintah, baik pusat atau daerah, membuat parameter yang jelas sebelum dana bansos dicairkan.
"Kita lihat tidak ada parameter yang jelas, maka dia rentan sekali untuk disalahgunakan. Kita rekomendasikan kalau tidak ada parameter yang jelas, itu tidak perlu dicairkan. Mestinya ini dari dulu ada program nyata, segmentasi jelas, lembaga atau pribadi, sehingga terukur," jelas Yusuf. '
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch juga mengungkapkan hal serupa. Dana bansos dinilai rawan diselewengkan. KPK bahkan mengaku telah membentuk tim untuk mencegah penyelewengan dana bansos. Dana bansos dalam nota keuangan sebesar Rp 55,86 triliun. Namun, dalam keputusan presiden sebagai pemutakhiran terakhir, alokasinya menjadi Rp 91,8 triliun. Tambahan itu karena adanya perubahan posting sejumlah anggaran dari yang awalnya belanja infrastruktur dan belanja barang menjadi belanja sosial.
Realisasi bansos per 28 Februari 2014, menurut Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, baru mencapai Rp 7,4 triliun. Meski demikian, Kementerian Keuangan belum bisa menjelaskan rinciannya karena belum ada laporan detail dari kementerian dan lembaga negara bersangkutan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.