JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Cabang Mahkamah Agung Gayus Lumbuun meminta Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki untuk tidak mencampuri urusan organisasi hakim. Gayus mengatakan, Suparman lebih baik berkonsentrasi menghadapi kasus dugaan korupsi pegawai KY.
Kejaksaan Agung telah menetapkan pegawai KY berinisial AJK sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembayaran uang persidangan dan layanan penyelesaian laporan masyarakat. "Karena kalau dugaan (korupsi AJK) ini terbukti, bagaimana KY akan layak melakukan pengawasan eksternal?" kata Gayus melalui siaran pers yang diterima wartawan, Selasa (25/3/2014).
Pernyataan ini merupakan tanggapan Gayus atas pernyataan Suparman, yang menilai Ikahi telah berlebihan karena menyambangi Gedung KPK untuk mengonfirmasikan pemberian peranti iPod pada resepsi anak Sekretaris MA Nurhadi. Suparman menilai langkah Ikahi tersebut tidak perlu dilakukan. Menurut Suparman, hakim MA sedianya langsung saja mengutus stafnya untuk melaporkan iPod itu kepada KPK.
Gayus menilai Suparman melihat masalah iPod ini dengan "kacamata kuda". Menurutnya, pemberian iPod ini tidak dapat ditanggapi hanya dengan melihat ketentuan undang-undang, tetapi juga perlu diklarifikasikan kepada KPK selaku pihak yang berwenang menjalankan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
"Mendatangi KPK merupakan keputusan rapat Ikahi Cabang MA agar hakim-hakim di lingkungan MA yang menerima suvenir iPod mendapatkan kepastian tentang hal tersebut, apakah bentuk gratifikasi yang dilarang atau tidak," ujarnya.
Gayus menilai bahwa tidak efisien jika para hakim penerima iPod melaporkan kepada KPK suvenir itu secara sendiri-sendiri. Menurut Gayus, hakim yang menerima iPod tersebut jumlahnya ratusan. Oleh karena itu, menurut Gayus, Ikahi memutuskan agar pelaporan iPod di lingkungan MA dibuat secara kolektif.
"Mengembalikan suvenir kepada pemberi tanpa dasar merupakan hal tidak etis sebelum ada kepastian dari yang berwenang (KPK). Sementara menyerahkan masing-masing penerima kepada KPK merupakan tindakan tidak efisien dan bodoh karena jumlah penerima di kalangan hakim ratusan," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.