JAKARTA, KOMPAS.com - Mekanisme pengajuan upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung sebaiknya dibahas oleh DPR di dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana dan Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHP-KUHAP). Hal itu menyusul dibatalkannya Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur PK hanya sekali oleh Mahkamah Konstitusi.
"Mumpung sekarang ini sedang ada pembahasan KUHAP di DPR, silakan saja keputusan MK kemarin dituangkan di dalam KUHAP pada rumusan penggantinya," kata pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, Rabu (12/3/2014), di Jakarta.
Yusril mengatakan, apa yang dibatalkan oleh MK sebetulnya merupakan produk undang-undang. Dengan demikian, yang berwenang untuk mengatur mekanisme pengajuan PK haruslah DPR yang bertindak sebagai pembuat undang-undang.
Menurut Yusril, Mahkamah Agung tidak perlu membuat peraturan atau surat edaran untuk mengatur mekanisme pengajuan PK. "Nanti kalau kita mau uji, yang memeriksa MA sendiri, kan jadi malas kita. (MA) yang bikin peraturan, ketika diuji, dia yang mengadili," katanya.
Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang mengatur peninjauan kembali hanya sekali. Dengan putusan MK itu, pengajuan PK dapat dilakukan lebih dari satu kali. Putusan tersebut atas permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty (istri Antasari) dan Ajeng Oktarifka Antasariputri (anak Antasari).
Antasari mendalilkan pembatasan pengajuan PK menghalangi dirinya untuk memperjuangkan hak keadilan di depan hukum yang dijamin Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Antasari bersyukur atas putusan itu. Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan bahwa proses peradilan harus sampai pada kebenaran materiil, suatu kebenaran tanpa keraguan. Dari prinsip itu, lahirlah prinsip lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah. Kebenaran materiil, lanjut Anwar, mengandung semangat keadilan.
Keadilan merupakan hak konstitusional atau hak asasi manusia bagi seseorang yang dijatuhi pidana. Keadilan tidak dapat dibatasi waktu atau ketentuan formal yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan sekali seperti diatur di dalam Pasal 268 Ayat (3) KUHAP. Hal itu karena mungkin saja setelah diajukan PK dan diputus, ada bukti baru (novum) yang substansial, yang saat PK diajukan belum ditemukan.
MK juga mengutip asas litis finiri oportet bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Hal itu berkaitan dengan kepastian hukum. Namun, menurut MK, asas tersebut tidak harus diterapkan secara kaku. Dengan hanya boleh mengajukan PK sekali, padahal ditemukan adanya keadaan baru (novum), ketentuan tersebut bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi kekuasaan kehakiman Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.