Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/03/2014, 09:55 WIB


Oleh: Yuna Farhan

KESUNYIAN yang melanda ”gedung Senayan” akhir-akhir ini sudah dapat diprediksi sebelumnya, yakni ketika sekitar 90 persen penghuninya mencalonkan kembali pada pertarungan politik April mendatang.

Dapat dipastikan para petahana Senayan ini akan berlomba kembali menarik simpati para pemilih dan menebar janji-janji demi mempertahankan kursi empuknya di parlemen.

Sorotan publik terhadap tingkat kehadiran anggota DPR sebenarnya bukan hal baru. Upaya yang dilakukan pun sudah cukup banyak, mulai dari penerapan finger print, penerapan sanksi, sampai wacana potong gaji.

Memasuki tahun politik, menurunnya tingkat kehadiran petahana Senayan menimbulkan persoalan lebih pelik. Negara tidak hanya dirugikan karena harus membayar gaji anggota DPR yang tidak hadir. Praktik ini bisa juga dikatakan sebagai cara-cara korup untuk terpilih kembali, bahkan akan melanggengkan praktik korupsi politik yang akan terus berulang, ketika hampir sebagian besar petahana kembali berlaga pada pemilu mendatang.

Tiga modus

Dalam praktik demokrasi langsung, petahana memang memiliki keuntungan sendiri. Setidaknya ada tiga modus yang menguntungkan petahana legislatif dalam konstestasi mendatang.

Pertama, melalui kebijakan alokasi anggaran yang menguntungkan petahana DPR. Petahana legislatif bisa mengarahkan anggaran dengan motif keuntungan pribadi maupun melayani konstituennya untuk memenangi pemilu (Sutter, 1999). Meski DPR bukan pelaksana anggaran, tetapi dengan fungsi anggaran yang dimilikinya, kebijakan anggaran dapat diarahkan untuk menarik simpati pemilih melalui dana optimalisasi ataupun bantuan sosial.

Dana optimalisasi hasil pembahasan APBN 2014 oleh DPR, misalnya, menghasilkan optimalisasi anggaran sebesar Rp 24 triliun. Meskipun dana ini dikelola kementerian/lembaga dalam bentuk proyek, tetapi melalui negosiasi kepada kementerian/lembaga yang memperoleh dana ini, bisa saja program atau proyeknya diarahkan ke daerah pemilihan (dapil) tertentu. Padahal, dapil tersebut tidak memerlukan program atau proyek itu.

Hal yang sama terjadi pada bantuan sosial, yang jumlahnya meningkat dari Rp 55,8 triliun pada RAPBN 2014 jadi Rp 73,1 triliun setelah dibahas DPR dan ditetapkan menjadi APBN 2014. Terbuka peluang terjadinya transaksi antara anggota legislatif dan kementerian untuk menitipkan bantuan sosial ke arah dapilnya.

Kedua, sebagai petahana, berbagai fasilitas dan tunjangan yang melekat pada DPR tidak bisa dilepaskan pada saat berlaga sebagai calon legislator. Johnston dan Pattie (2009), misalnya, menemukan berbagai fasilitas yang dimiliki petahana legislatif untuk berhubungan dengan konstituen atas nama menjalankan fungsinya, meningkatkan peluang keterpilihan dengan biaya kampanye yang lebih sedikit dibandingkan penantangnya.

Berdasarkan catatan FITRA (2013), terjadi kenaikan anggaran reses DPR tahun 2013 jadi Rp 1,2 miliar per orang untuk 11 kali kunjungan. Dengan dalih kunjungan kerja di luar masa reses, pantas saja gedung DPR akhir-akhir ini makin sunyi, demi melakukan kampanye dengan berbagai fasilitas yang melekat.

Ketiga, dengan sistem pemilu proporsional daftar terbuka, tetapi akuntabilitas laporan dana kampanye berada pada partai politik, ditambah tidak adanya batasan belanja kampanye, juga merupakan faktor pendorong petahana Senayan terjerembab dalam atmosfer korupsi politik. Dengan sistem proporsional terbuka, dorongan persaingan caleg di dalam maupun di luar partai politik, serta ketidakpastian untuk memenangi pemilu, mendorong kecenderungan petahana untuk melakukan korupsi, mencari sumber-sumber dana ilegal untuk membiayai kampanyenya (Chang, 2005).

Tiga modus keuntungan petahana legislatif ini akan menjadi mata rantai korupsi politik yang terus berulang. Banyaknya anggota legislatif periode 2009–2014 yang terjerat kasus korupsi sebenarnya hanyalah puncak gunung es dari korupsi politik di lembaga ini, sekaligus mengonfirmasi sebagai episentrum terjadinya korupsi politik.

Mereka akan terus menciptakan celah-celah yang menguntungkan dirinya agar dapat mempertahankan kursi empuk di legislatif. Dengan sistem politik yang korup, hanya para politisi korup yang dapat memperoleh keuntungan untuk melanggengkan kekuasaanya (Evrenk, 2011).

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Nasional
Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Nasional
FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com