JAKARTA, KOMPAS.com
— Kebijakan pemerintah yang menambah Pasukan Pengamanan Presiden sebanyak satu grup, yaitu Grup D, untuk mengawal mantan presiden dan mantan wakil presiden dinilai keliru. Kebijakan itu juga mengundang pertanyaan karena baru dikeluarkan saat ini.

Pengamat politik senior J Kristiadi, misalnya, mempertanyakan mengapa kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2013 itu baru dikeluarkan sekarang.

Dia menilai kebijakan itu keliru karena saat ini rakyat menginginkan sikap pemimpin yang negarawan dan populis. Pengamanan presiden dan mantan presiden yang orisinal juga adalah hubungan dan suasana kebatinan yang erat serta harmonis antara rakyat dan elite.

Kebijakan penambahan satu grup Paspampres malah memberikan indikasi bahwa hubungan rakyat dengan elite genting, tidak aman, dan tidak nyaman.

”Padahal, pada masa Gus Dur dan Habibie, suasana lebih chaostik,” ujarnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, menurut Kristiadi, seharusnya tak perlu mengeluarkan kebijakan seperti itu karena terpilih secara demokratis.

Secara terpisah, Wakil Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menilai kebijakan itu juga tidak relevan. ”Apakah relevan kebijakan seperti itu saat kondisi perekonomian makin sulit seperti sekarang ini,” katanya.

Menurut Hasto, pengamanan terhadap mantan presiden dan mantan wakil presiden tidak diperlukan. ”Masyarakat Indonesia secara kultural menghormati pejabat atau mantan pejabat,” ujarnya.

Dia berharap Komisi I DPR dapat mempertanyakan atau mengkritisi kebijakan tersebut.

Ide bukan dari SBY

Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Moeldoko membantah, pengadaan Grup D Paspampres ini terkait dengan perkembangan kondisi politik dan hukum. Ia juga membantah, pengadaan Grup D Paspampres ini merupakan perintah dari Presiden Yudhoyono. Menurut Moeldoko, pengadaan Grup D berasal dari evaluasi Paspampres yang kemudian diajukan ke Panglima TNI.

Menurut informasi yang diperoleh Kompas, ide pengadaan Grup D Paspampres dimulai paruh kedua tahun 2012. Hasil evaluasi internal Paspampres menemukan fakta, tidak ada payung hukum yang menjadi tumpuan bagi pengawalan mantan presiden. Akibatnya, jalur tanggung jawabnya tidak jelas, demikian juga jaminan kesejahteraan dan organisasi.

Ide ini kemudian disetujui Presiden Yudhoyono dan kemudian diajukan ke Panglima TNI yang saat itu dijabat Laksamana Agus Suhartono. Ide ini lalu digarap bersama Kementerian Luar Negeri, Polri, dan TNI sehingga menghasilkan Peraturan Pemerintah Nomor 59 pada 27 Agustus 2013.

Anggota Komisi I DPR, Susaningtyas Kertopati, menyambut positif penambahan Grup D. Sebab, selama ini biaya pengamanan para mantan presiden dan mantan wakil presiden tidak ditanggung oleh negara. Namun, hal itu tak perlu dilakukan dengan menambah personel Paspampres, tetapi meningkatkan sumber daya manusia yang ada. (FER/EDN)