JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menilai, pemerintah telah menyampaikan pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta terkait penyusunan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Hukum Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP). Misalnya, pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin yang mengatakan bahwa KPK sudah dilibatkan dalam penyusunan dua RUU tersebut.
"Diusulkan, tidak perlu panik dan membuat pernyataan yang tidak sesuai dengan fakta dan kebenaran untuk merespons suatu proses yang keliru dan materi draf perundangan yang bertentangan dengan filosofi dan politik yang sudah ditetapkan TAP MPR dan menjadi pegangan politik penegakan hukum selama ini," kata Bambang melalui pesan singkat, Kamis (27/2/2014).
Bambang menilai, penyusunan RUU KUHP-KUHAP oleh pemerintah tidak mengikuti prinsip open goverment atau pemerintahan yang terbuka dan melibatkan partisipasi masyarakat.
"Salah satu syarat untuk itu, maka setiap perubahan adalah pembuatan undang-undang yang menyangkut hidup rakyat banyak harus bersifat terbuka dan mengundang partisipasi publik yang luas," kata Bambang.
Terkait RUU KUHP-KUHAP ini, KPK telah mengirimkan surat kepada Presiden, pimpinan DPR, dan pimpinan panitia kerja (panja) RUU KUHP dan KUHAP di DPR. Surat tersebut berisi rekomendasi agar pembahasan dua RUU itu dihentikan dan dibahas oleh DPR dan pemerintah periode 2014-2019. Namun, menurut Bambang, sampai saat ini KPK belum menerima surat balasan resmi dari Presiden, DPR, maupun panja.
"De facto, surat itu belum pernah dijawab, kecuali oleh Menteri Hukum dan HAM," kata Bambang.
Bambang berpendapat, terkait RUU KUHP-KUHAP ini, pihaknya telah melakukan tata krama birokrasi. Sebelum menyampaikan penolakan secara terbuka kepada media, Bambang mengatakan, KPK sudah dua kali berdiskusi dengan mengundang Menteri Hukum dan HAM serta wakilnya, Denny Indrayana.
Selain itu, lanjutnya, dalam pembicaraan informal, KPK juga sudah meminta untuk dilibatkan dalam pembahasan di DPR. Menurutnya, sudah menjadi kewajiban KPK untuk menjelaskan kepada publik melalui media sikap penolakan KPK mengenai pembahasan RUU KUHP-KUHAP ini.
"Bila kepentingan publik yang diwakili media ditanyakan kepada KPK, maka wajib bagi KPK menjelaskan secara jelas dan tuntas seluruh pokok pikiran KPK yang ditujukan untuk kepentingan publik itu," kata Bambang.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto meminta KPK tidak banyak bicara ke media terkait penolakan RUU KUHAP-KUHP. KPK dan lembaga penolak lainnya diminta menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait pasal-pasal yang dianggap melemahkan.
Djoko menegaskan, tidak ada lembaga mana pun, termasuk pemerintah, yang ingin mengebiri kewenangan KPK. RUU usulan pemerintah itu, lanjutnya, sudah disusun sejak 12 tahun lalu, bahkan sebelum KPK berdiri. Penyusunnya pun, katanya, melibatkan para pakar hukum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.